Sabtu, 16 Februari 2013

Nasiah, Petugas Linen di RSOB


Cuci Kain Penderita HIV AIDS sampai  Kain Bau Bangkai

Karena terbiasa, kain yang menjijikan sekalipun dapat dibersihkan. Tak terasa sudah 27 tahun, ia menjalaninya.

Aroma pengharum pakaian langsung tertangkap hidung ketika  masuk ruang linen yang dulunya menjadi kamar Jenazah RSBP. Batam di Sekupang.
Didepan dua mesin pengering yang isinya berputar-putar itu duduk 2 orang perempuan yang sedang melipat kain. Sedang dua orang remaja laki-laki  menyusun tumpukan kain yang sudah terlipat tadi ke atas meja.
''Mereka sudah disini sejak jam 5 pagi.  Karena tadi malam ada pasien yang dioperasi. Kalau tidak dikerjakan mulai subuh, tidak bisa selesai. Padahal biasanya kain-kain itu pasti dibutuhkan untuk operasi pagi harinya,''kata Nasiah, yang sudah 27 tahun bertugas di ruangan linen RS. BP Batam.
Sejak menjabat sebagai koordinator ruangan Linen, wanita asal Belakang Padang ini tidak lagi berangkat subuh. ''Tapi saya sudah ada disini jam 7 pagi. Ada sepuluh orang anggota yang sekarang bantuin. Saya bagi dua shift, pagi dan sore,''kata Nasiah.

Sumarti, Mantan Petugas Pengungsi di Galang


Jemarinya Jadi Saksi Pengungsi Vietnam



Daya Ingatnya masih kuat, walau kejadian itu sudah 33 tahun lalu. Dulu dialah salah satu tenaga sukarela yang  mengurusi ratusan pengungsi dari Vietnam dan Kamboja di Pulau Galang.

Kapal feri milik Palang Merah Internasional itu baru saja merapat di dermaga pulau Galang 1. Sumarti, berumur  28 tahun kala itu bersama 5 orang temannya dari Tanjungpinang bergegas turun dan menuju kantor Palang Merah Internasional yang ada di Galang 1. Hari itu masih pagi, karena jam di kantor masih menunjukkan pukul 07.30 WIB. Namun, Sumarti  dan teman-temannya yang juga sesama tenaga sukarela dari Palang Merah Internasional sudah harus berada di kamp  pengungsi Vietnam di Galang 1. ''Saat itu pekerjaan utama saya menginput data para pengungsi dan menuliskannya pada  lembaran kertas. Seperti nama pengungsi, asal negara, tanggal kedatangan, nama kapal dan lokasi pertama pengungsi itu tiba. Zaman dulu belum ada komputer, jadi harus ditulis tangan. Padahal yang ditulis sampai ribuan lembar. Makanya lama,''kata Sumarti, yang kini sudah berusia 61 tahun.

Ternyata, tak hanya menuliskan data-data pengungsi saja, Sumarti juga berkewajiban mempertemukan pengungsi yang terpisah dari keluarganya. ''Biasanya dengan data-data yang sudah kami buat itu, bisa membantu pengungsi kembali ke keluarganya,''cerita wanita yang menjadi tenaga sukarela selama 8 tahun.
Sumarti pun teringat lagi, saat-saat ia harus menanyai satu persatu pengungsi itu. ''Saya belajar bahasa Inggris sejak ngurusi pengungsi. Kalo bahasa vietnam harus pakai penterjemah. Biasanya pakai pengungsi yang bisa berbahasa Inggris,''kata pensiunan guru sekolah dasar di Tanjungpinang ini.
Setelah mendata, tugas Sumarti selanjutnya adalah menempatkan para pengungsi di rumah-rumah panggung yang sudah disediakan. Setiap keluarga tinggal di satu kamar. '' Pengungsi Vietnam dan Kamboja tidak boleh dicampur satu rumah. Mereka bisa saling bunuh-bunuhan,''kata istri dari H. Rochman, pensiunan PNS Angkatan Laut di Tanjungpinang.
Selanjutnya Sumarti membagikan beras, bahan-bahan makanan mentah  dan peralatan mandi pada masing-masing pengungsi. ''Sambil menunggu sponsor atau negara ketiga yang mau nenerima pengungsi menjadi warga negaranya, mereka mengisi waktu dengan bercocok tanam disekitar kamp atau buat kafe kecil-kecilan.  
Petugas jaga akan  terus mengawasi, kata Sumarti. Karena sering dijadikan sarana untuk kabur.
Sumarti mengaku diawal direkrut menjadi tenaga sukarela, ia bertugas menempel perangko surat-surat pengungsi. Dua tahun juga ia jalani tugas itu. ''Dulu digaji Rp23 ribu perbulan. Sehari tidak kerja, tidak terima gaji,''kenang wanita kelahiran Pacitan, 1 Februari 1952.
Tugas lain Sumarti adalah membagikan beras ke daerah-daerah yang pernah disinggahi pengungsi. ''Kebanyakan di dekat pulau 7. Seperti Jemaja, Letung, Tebang Laden, Tarempa juga Malaysia. Ada satu pulau yang namanya pulau laut. Ini pulau paling ujung di pulau 7. Pengungsi Vietnam banyak yang singgah di sini. Mereka buat rumah-rumah di tepi laut. Pulau ini memang paling dekat dengan Vietnam, lampu-lampu di negara itu saja kelihatan,''kata wanita yang kini mengajar di Taman Pendidikan Al Quran.
Di dalam kota Tanjungpinangpun, juga disinggahi pengungsi Vietnam. Salah satunya di Bukit Cermin. Karena itu, Sumarti juga membagikan beras pada penduduk-penduduk yang tinggal disekitar itu. ''Beras ini diberikan sebagai ganti atas pertolongan mereka membantu para pengungsi,''kata ibu dari Rahmawati dan Wahyu Rahmad.
Sejarah mencatat, perang Vietnam telah berlangsung mulai tahun 1959 hingga 30 April 1975. Selama itu telah jatuh korban tiga hingga empat juta rakyat Vietnam, satu setengah hingga dua juta rakyat Laos dan Kamboja serta 58.159 pasukan Amerika.
Perang Vietnam itu berlatar belakang keinginan yang berbeda. Di pihak Vietnam Utara menghendaki agar. tercipta penyatuan Vietnam dalam pemerintahan yang merdeka. Sedang Vietnam Selatan menghendaki agar tercipta pemerintahan non komunis di Asia Tengara. Dari sinilah keberpihakkan Amerika dalam memerangi komunis dunia terlihat dengan melibatkan diri secara nyata dalam perang ini.
Perang ini mengakibatkan eksodus besar-besaran warga Vietnam ke negara lain, terutamanya Amerika Serikat, Australia dan negara-negara Barat lainnya, sehingga di negara-negara tersebut bisa ditemukan komunitas Vietnam yang cukup besar.
Sebelum ke Amerika, Australia, mereka ditampung di pulau Galang, Batam. Mereka, kata Sumarti,  dijemput petugas Palang Merah Internasional dari pulau-pulau tempat pertama kali mereka datang. Macam-macam kondisinya. Karena mereka datang menggunakan perahu sampan. Perahu yang mereka naiki lebih kecil dari yang sekarang dipamerkan di pulau Galang itu. Saat dijemput kapal Palang Merah di pulau-pulau itu, ada yang kelaparan, berkudis.   Saat datang ke pulau Galang, mereka sudah dengan kapal Palang Merah Internasional tidak lagi dengan sampan. ''Tahun 1979, para pengungsi itu mulai berdatangan dibawa dengan kapal Palang Merah Internasional ke Galang 1.  Kata petugas palang Merah, rombongan pengungsi pertama kebanyakan orang-orang kaya, mereka cantik-cantik. Banyak juga artis. Kalau rombongan pengungsi paling akhir kebanyakan kelaparan, dan banyak yang berkudis,''cerita Sumarti di rumahnya di Jl Terong no 15, Tanjungpinang.
Mereka kata Sumarti, berjumlah ratusan ribu orang,  menyebar  dengan menggunakan perahu kayu. 'Manusia perahu’ ini mencoba bertahan dengan pola hidup ala Tarzan. Memanfaatkan alam yang ada untuk bisa hidup. Pada akhirnya, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tak tega melihatnya. Para pengungsi Vietnam itu dibantu dengan membangun fasilitas-fasilitas tempat tinggal dan makanan di Galang 1. Kemudian sejak Galang 1 penuh, dibuka Galang 2 untuk menampung pengungsi. Galang 1  adalah perkebunan nanas, yang pabriknya berada di batu 18 Tanjungpinang.
Galang 1 menjadi awal tempat penampungan pengungsi. Pulau Galang akhirnya, menjadi tempat penampungan sementara pengungsi Vietnam, Kamboja dan Laos. Sebelum mereka diterima negara. ''Ketika sudah ada negara yang bersedia menerima mereka, para pengungsi dibawa ke Camp Air Raja di Tanjungpinang. Selanjutnya mereka dibawa dengan pesawat foker ke negara tujuan. Membagi giliran berangkat juga tugas saya. Biasanya saya dahulukan yang satu keluarga,''kata Sumarti dengan sumringah.
Sumarti mengaku setiap harinya, ia pulang dan pergi dari Tanjungpinang-galang. Ketika ada kapal palang Merah rusak, ia harus pakai kapal kayu yang butuh waktu 1,5 jam perjalanan. ''Sering pulang bawa kerjaan. Setumpuk kertas yang harus diisi dengan identitas pengungsi,''kata Sumarti. ***