Selasa, 29 Mei 2012

Baharudin, 20 Tahun Menjadi Penambang Pancung di Pulau Buluh

Lebih Aman daripada Jalan Raya

Dari luar, pelabuhan Sagulung itu tampak ramai. Mobil-mobil terparkir disepanjang jalan. Namun ketika masuk kedalam pelabuhan, tidak ada satupun penumpang di pelabuhan pancung itu. Yang ada  hanya lima orang penambang Pancung yang duduk-duduk santai sambil ngobrol.  Hari itu Senin (5/9), pukul 10.00 WIB. Biasanya, pelabuhan ini ramai anak sekolah, tapi karena masih libur sekolah, yang ada hanya mobil-mobil dan motor karyawan yang bekerja di perusahaan yang ada di


Pelabuhan pancung ini tampak bersih dan luas. Pelantarnya terbuat dari besi. Di dinding kiri pintu masuk terpasang white board bertuliskan tarif sewa pancung ke beberapa tempat. Urutan paling atas tertulis Pulau Buluh Rp 70.000. Biaya sewa sekali jalan inilah yang paling murah. Walau tertulis seperti itu, penumpang yang ingin ke pulau Buluh sendirian bisa naik pancung dengan hanya membayar Rp 10 ribu saja.

Pulau Moro adalah pulau terjauh yang bisa diantar dengan pancung. Biayanya sampai Rp 2 juta. Perjalanannya bisa sampai 2 jam. Di papan tulis itu juga tertera Tanjungpinang dan Tanjungbalai Karimun. '' Ada juga yang minta diantar dengan pancung ke dua pulau ini. Tapi saya tak bisa lagi yang jauh-jauh. Badan sudah tak kuat lagi. Sejak enam tahun ini saya memilih mengantar jemput anak sekolah saja, '' kata Baharudin, salah satu penambang pancung yang diberi amanah mengantar jemput anak sekolah dengan pancung milik LAZ DSAU.

Dua puluh tahun tahun sudah, Baharudin menjadi penambang Pancung. Dengan boat pancung berukuran 26 feet miliknya, ia bolak-balik dari pelabuhan Sagulung ke pulau-pulau disekitar daerah itu. Sebenarnya ia bisa menyetir mobil. Namun Bahar merasa lebih aman di laut. Duduk diatas pancung mengendalikan mesin dirasa Bahar tidak penuh resiko. Karena itu ia tetap bertahan dengan pekerjaan ini. Apalagi ia juga punya kemampuan memperbaiki mesin pancung. Karena itu ia bisa menjaga pancung yang dipakainya tetap awet.

''Dulu saya sering cemas, karena pancung saya itu sudah bocor. Saya takut tenggelam saja, '' kata pria yang kini sudah berusia 51 tahun.

Setahun ini, Baharudin bisa tenang. Itu sejak adanya lembaga Amil Zakat Dompet Sosial Ulil Albab (DSUA) meminjamkan boat pancung baru berukuran 32 kaki.Boat pancung bermesin 40 PK itu sudah mulai lalu lalang dari Pelabuhan Sagulung-Pulau Buluh sejak pukul 06.30 hingga pukul 17.00 WIB.

Bahar memperkirakan 11 kali ia bolak-balik membawa anak sekolah. Ada sekitar 100 anak yang sekolah di pulau Buluh. Mereka adalah siswa SDN 002, SMPN 5 dan SMAN 11 yang tinggal di Sagulung dan sekitarnya.
''Orangtua anak-anak itu lebih senang anaknya sekolah di pulau. Katanya lebih aman tidak melewati jalan raya,'' kata pria kelahiran pulau Buluh.

Selain itu, kata Bahar lagi, orangtua murid juga merasa tenang karena ia yang mengantar jemput anaknya. ''Mereka sangat mempercayakan anaknya kepada saya. Mereka sering telpon kalau anaknya belum pulang. Biasanya saya bantu cari. Kalau masih di pulau Buluh, anak-anak itu pasti ketemu, biasanya mereka main di rumah temannya. Tapi kadang juga main di pancung ini, '' kata Bahar yang mengaku sangat menyenangi pekerjaannya ini.

''Jika hari biasa, saya sudah sibuk mengantar jemput anak sekolah. Ini karena masih libur sekolah. Saya bisa santai. Bisa nambang cari penumpang,'' Bahar menambakan sambil memegang gas mesin boatnya.

Boat pancung ini harus dibawa Bahar dengan gerak cepat. ''Karena anak-anak sering tidak sabaran. Makanya, saya harus pintar-pintar mengambil posisi merapat yang aman agar anak-anak bisa langsung naik. Apalagi yang naik kebanyakan anak-anak kecil. Seperti anak kelas satu dan dua,'' timpal pria yang piawai merawat perahu dan mesin boat.

Untuk memudahkan menurunkan anak-anak di Pulau Buluh, Bahar membuatkan pelantar sendiri tepat di depan rumahnya. Menurut Bahar, pelantar itu sengaja dibuat agar memudahkan anak-anak yang masih kecil turun sendiri dari boat tanpa dipegangi. ''Pelantar yang ada di Pulau Buluh ini kan semuanya harus dipanjat. Anak-anak tidak akan bisa dan pasti berbahaya. Apalagi yang masih kecil, bisa-bisa jatuh ke laut. Makanya saya berinisiatif aja membuat sendiri,'' papar bapak dari lima anak ini.

Dengan boat pancung pinjaman dari DSUA ini, Bahar juga bisa mengantarkan anak-anak sekolah lebih cepat. Boat pancung itu bisa membawa 40 anak sekaligus. Bahar mengaku, dulu dengan boat pancung miliknya sendiri ia sudah deg-degan membawa 20 anak. Ia khawatir pancungnya tenggelam ditengah jalan. Memang pancungnya sudah ditambal, tapi ia tetap was-was.

Untuk biaya operasional boat pancungnya Bahar mengandalkan bantuan pemerintah. Setiap enam bulan sekali, Pemko membayarkan uang transport untuk 82 anak SD mulai dari kelas 1-6 sebanyak Rp17 juta. Namun sudah sembilan bulan ini uang transport tersebut belum juga cair. Bahar mengaku sudah berhutang bensin Rp13 juta pada tiga penjual bensin di pulau Buluh.

Setiap harinya Bahar harus mengisi boat pancungnya dengan bensin seharga Rp120 ribu. ''Untung saja penjual bensin itu mau mengisikan bensinnya, walau masih ada hutang yang belum dibayarkan. Alhamdulilah, mereka tahu kondisinya. Sayapun tidak akan menunda-nunda membayarkan hutang itu. Biasanya, kalau uang sudah saya terima, saya tidak pulang dulu. Tapi saya langsung ke tempat mereka untuk bayar hutang,'' kata Bahar sambil berharap agar Pemko segera mencairkan uang transport itu.

Sehari-hari, Bahar mendapatkan penghasilan dari mengutip biaya transport bulanan siswa SMP dan SMA. '' Anak-anak itu tidak di subsidi pemerintah. Makanya mereka bayar sendiri. Biaya transport perbulan Rp80 ribu setiap anaknya. Setiap hari libur seperti sekarang ini saya juga nambang. Dari uang inilah saya gunakan untuk kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah anak juga membeli bensin,'' ujarnya pria yang masih memiliki anak yang sekolah di SMA, SMP dan SD.

Bahar mengaku ia bisa berpenghasilan Rp5 juta perbulan. Setelah disisihkan untuk semua kebutuhan sehari-hari, Bahar masih bisa menabung Rp1 juta setiap bulannya. Ia juga sangat royal untuk anak-anak. Sering juga Bahar menyuruh Zurbaiti (30) istrinya untuk membuatkan nasi bungkus untuk dibagikan ke anak-anak sekolah. ''Mereka sudah menganggap rumah saya sepertinya rumahnya sendiri. Kalau haus ambil minum sendiri. Saya juga sering membelikan jajanan di rumah. Jadi mereka makan ramai-ramai, '' kata pria berkulit gelap ini. ***


Sudah Tidak Sekuat Dulu Lagi

Hari Minggu atau tanggal merah sebenarnya menjadi waktu Bahar mencari penghasilan tambahan. Namun ia mengaku ingin istirahat di rumah saja. Karena mulai dari Senin sampai Sabtu, nonstop bekerja di atas boat. ''Saya mulai nggak kuat kalau kena panas. Rasanya lemas. Satu bulan lalu saya sakit di lambung, rasanya seperti ditusuk-tusuk. Tapi saya tetap bekerja,'' kata Bahar yang baru saja mengantar kami berjalan mengelilingi pulau Buluh.

Kondisi fisik yang tak sekuat dulu, membuat Bahar sering menolak permintaan penumpang yang akan bepergian agak jauh. ''Paling jauh saya hanya bisa antar sampai pulau Bulang. Waktunya 1/2 jam saja. Tapi kalau lebih dari itu saya tidak sanggup lagi. Waktunya juga yang tidak ada. Apalagi jam sekolah, saya tidak bisa ke mana-mana. Karena saya harus siap 24 jam mengantar jemput anak-anak yang berangkat dan pulang sekolah,'' kata Bahar yang sering juga diminta mengantar pemancing ke tengah laut. (agn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar