Senin, 04 Juni 2012

Menyusuri Jejak Anak-anak Korban Tsunami Nias dan Mentawai di Batam

Mengejar Cita-cita di Pulau Kalajengking

Derita itu masih masih membekas sampai sekarang. Anak-anak korban tsunami yang ada di Batam akhirnya bisa sekolah. Kini hanya beberapa langkah saja untuk mengejar cita-cita di pulau Kalajeng ini.

Peristiwa tsunami Nias tahun 2004 lalu belum bisa dilupakan Daniel Laia. Ia ingat betul kajadian dahsyat tersebut. Kala itu, berdua dengan adik laki-lakinya, Daniel yang masih duduk di bangku kelas 1 SMP tidur di ruang tamu. Sedangkan adik perempuannya yang masih kelas 3 SD di dalam kamar. Waktu itu  jam dinding rumahnya menunjukkan pukul 22.00 WIB. Matanya pun mulai mengantuk. Ia juga tak ingin besok terlambat masuk sekolah.

Seketika Daniel terlelap dalam tidur. Namun 30 menit kemudian, Daniel terkejut. Suara teriak gempa terdengar dari luar rumah. Gempa....gempa...! Belum sempat berdiri dari tempat tidurnya, tiba-tiba tembok rumahnya sudah berjatuhan. Daniel pun berlindung di bawah papan dan lemari yang sudah jatuh miring. Secepatnya juga dia membawa adikknya berlindung di bawah lemari itu. Gempa pun berlalu. Daniel berlari keluar rumah, mencari pertolongan. Sejak gempa itulah,  sawah orangtua Daniel hancur, dan kebun karetnya longsor.

Daniel dan adikknya lantas putus sekolah. Orangtuanya tidak mampu membiaya mereka sekolah lagi. Daniel dan adiknya tinggal di Desa Hililaja, Nias. Mereka memang tinggal berjauhan dengan orangtuanya karena sekolah. Di desa Hililaja ini jarak menuju sekolah hanya 500 meter saja. Sedangkan letak sekolahnya dengan tempat orangtua tinggal sangat jauh.  Jaraknya 12 kg, dan harus menyeberang sungai. Jika hujan, tidak bisa sekolah karena aliran sugai sangat deras.
Sekitar satu tahun Daniel tak sekolah.

Hingga suatu saat, seorang tokoh agama melakukan kunjungan sosial membantu korban tsunami Nias menawari sekolah di Batam. ''Kamu mau ke panti, nanti bisa sekolah lagi,'' kata  Daniel kepada Batam Pos, Jumat (27/5) lalu di perumahan Alam Raya Batam menirukan perkataan tokoh tersebut.

Daniel yang sudah rindu bersekolah, langsung setuju. ''Terserah bapak saja, asal saya bisa sekolah lagi. Saya ingin merubah nasib keluarga. Saya ingin jadi manajer karena itu saya harus sekolah,'' kata Daniel saat itu.

Di tahun 2005 itulah, Daniel ke pulang yang berbentuk kalajengking ini. Dia tinggal di panti Bethesda  di perumahan Alam Raya blok D No 10-12 Batam Center. Menyusul kemudian kedua adiknya, namun mereka berbeda panti asuhan. Kedua adiknya di panti asuhan yang ada di Legenda Malaka.

Saat ditemui, Jumat (27/5) siang,  Daniel bercerita bahwa ia baru saja lulus SMK Harmoni. Kini ia  hanya tinggal menunggu nilai. Ia berencana melanjutkan kuliah dan mengambil bidang studi Manajemen Akuntasi di Politeknik atau di GICI.  ''Tapi saya mau pulang kampung dulu. Sudah lima tahun tidak ketemu bapak dan ibu, setelah itu saya mau kuliah sambil bekerja di hotel sebagai waitres untuk membiayai kuliah,'' kata anak sulung dari tiga bersaudara ini.

Ada juga Risna (17), gadis manis kelahiran Desa Hilizihono, Teluk Dalam, Nias ini juga menjadi korban tsunami. Sejak kejadian itu, ia sempat putus sekolah selama 2 tahun. Kedua orangtuanya tidak mampu membiaya sekolah. Risna yang saat itu masih kelas 5 SD tinggal tinggal bersama pamannya di Nias. Saat kejadian, Risna sedang menonton TV. Ia berhasil lolos dari longsor. Risna pun akhirnya mau diboyong ke panti asuhan untuk disekolahkan. Ia mengaku sangat senang tinggal di panti. Padahal ia harus sangat mandiri di usianya yang belum genap 12 tahun. Ia harus mencuci sendiri juga memasak.

 Seperti siang itu, Risna baru saja memasak sayur kol dan ikan goreng untuk anak-anak panti asuhan. Ia terlihat sibuk di dapur seorang diri. ''Hari ini memang piket masak makan siang. Yang masak sarapan dan makan malam teman yang lain lagi,. Kita bergiliran setiap harinya kok. Semuanya merasakan tugas membersihkan rumah juga memasak, '' kata gadis yang memiliki empat adik lagi.

Menurut Maria, ibu pengasuh panti asuhan Bethesda, ada sekitar lima anak korban tsunami Nias yang 26 Desember 2004 dibawa pertama kali ke Batam tahun 2005. Yayasan Bahtera Misi pimpinan Zibua inipun didirikan untuk membantu korban tsunami ini. ''Saat dibawa anak-anak ini dalam kondisi perutnya membesar dan dari jauh tercium bau. Karena sekujur tubuh dipenuhi luka-luka. Yang paling kecil berumur empat tahun, '' kata Maria yang juga istri dari Malahan Jayagulu, kepala panti asuhan.

Kata Maria, untuk angkatan kedua korban tsunami Mentawai 26 Oktober 2010, ada sekitar tujuh anak. Mereka baru datang pada bulan Maret 2011. Tiga laki-laki, yakni Rinaldi (16), Anjas (9) dan Firdaus (17). Ketiganya sangat santun, saat tamu datang mereka memberi salam.

 Anjas yang paling kecil misalnya, menjadi yatim dan hanya tinggal ibunya karena bapaknya meninggal tersapu tsunami berkekuatan 7,2 SR di Kampung Lama Mentawai. Bapak Anjas bekerja sebagai nelayan di Kampung Lama. Sedangkan Anjas dan ibunya yang seorang guru TK tinggal di Kampung Baru. Butuh waktu perjalanan 4 jam untuk sampai ke Kampung Lama. Sejak kejadian itu Anjas yang bercita-cita menjadi polisi ini tidak bisa sekolah. Kemudian ibunya menitipkan Anjas pada Zibua, pemilik Yayasan Bahtera Misi ini untuk disekolahkan.

Rinaldi juga terpaksa merantau ke Batam untuk bisa sekolah. Ia tidak memiliki orangtua lagi. Keduanya sudah meninggal karena tergulung gelombang saat tsunami terjadi pukul 21.42 WIB di Kampung Lama Mentawai. Rinaldi tinggal di rumah kakaknya yang juga ibu dari Anjas. Selama ini Rinaldi dititipkan karena kedua orantuanya bekerja menjadi nelayan di Kampung Lama. Kampung Lama tidak terkena terjangan gelombang air laut karena terletak di dataran tinggi. Selain itu masih jauh dari pantai.

Saat ini, kata Maria, Rinaldi dan Anjas belum sekolah lagi. Karena masih menunggu tahun ajaran baru. Mereka masih mengisi waktu dengan bermain futsal, les musik, les bahasa Inggris. '' Kami punya visi, ketika anak-anak sudah selesai sekolah, mereka bisa mandiri dengan ketrampilan yang sudah mereka punyai, '' kata wanita yang dipanggil ibu oleh anak-anak panti.

Kata Maria lagi, dulu anak-anak ini tidak bisa berbahasa Indonesia. Sekarang justru berbalik, mereka tidak bisa bicara bahasa Nias lagi. Di panti asuhan ini, Maria tidak sendiri. Ada lima pembina lain yang ikut membantu mendidik anak-anak panti yang berjumlah 41 anak. Leni, Ester, Nidar, Anton dan Lisda, merekalah yang membantu mengawasi anak-anak. Setiap Sabtu, anak-anak diberi kebebasan  bermain futsal atau berenang. ***

Setiap Anak Dikenakan Wajib Belajar
Saat Batam Pos bermaksud menemui anak-anak korban tsunami, justru tidak menemukan anak-anak
korban Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Panti Asuhan Hidayatullah, Batuaji. Ada sekitar tujuh orang anak asal Aceh. Mereka didatangkan dari Panti Asuhan Hidayatullah di Pekanbaru. 

Ridwan Syahri (18) misalnya. Ia dititipkan di Panti Asuhan di Pekanbaru karena Mulyadi, bapaknya dicurigai sebagai anggota GAM. Masih kuat dalam ingatan Ridwan yang saat itu masih berumur 8 tahun, rombongan TNI bermobil Brimob mendatangi rumahnya di Desa Wihnongkal, Aceh Tengah. Saat itu selepas Isya, mereka datang dan mengintrogasi bapak.

''Untung saja bapak tidak dibawa. Tapi sejak itu, kami memutuskan pindah ke Medan. Tiga tahun di Medan, kami balik lagi ke Aceh. Saat mau masuk SMP itulah, bapak menyarankan saya ke Pekanbaru, tinggal di pesantren saja, lebih aman dan tidak ikut bapak berpindah-pindah tempat tinggal,'' kata lulusan terbaik SMA Integral Hidayatullah tahun 2011.

Ada juga Alias Hakim (19), yang dulunya tinggal di Desa Buntu Ikubu Kabupaten Bener Meriah Aceh Tengah. Pemuda itu dititipkan ke Panti Asuhan Hidayatulah di Pekanbaru setelah Yusnan Arbi, bapaknya meninggal karena ditembak TNI. Bapaknya dicurigai sebagai angggota GAM. ''Padahal setahu saya, bapak hanya petani kebun jeruk dan kopi, '' kata Alias Hakim yang ditemui Batam Pos, Kamis (25/5) di Panti Asuhan Hidayatullah Batuaji.

Alias Hakim sudah dititipkan di Panti Asuhan sejak kelas 3 SD. Dan kini Alias Hakim sudah tamat SMA dan sedang menjalani pengabdian selama satu tahun di TPA yang ada di Batam. Setelah itu, Alias Hakim bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sesuai minatnya.

Menurut Ardianto, Wakil Kesiswaan SMA Integral Hidayatullah, anak-anak yang disekolahkan oleh yayasan Hidayatullah wajib mengaplikasikan ilmu agamanya terlebih dahulu setelah tamat SMA. ''Mereka wajib mengajar anak-anak di taman pendidikan Al Quran, '' kata Ardianto yang juga guru Bahasa Indonesia.

Tak hanya Ridwan dan Alias, ada juga Zainudin dan Iwan Setiawan. Namun keduanya tidak bisa ditemui karena sudah diberangkatkan ke tempat tugasnya di Tanjungpinang dan Bintan. Ada juga yang ditugaskan ke Natuna.

Mereka, kata Ardianto, sudah bisa mengajar mengaji untuk TPA. Rata-rata sudah hafal 2 juz.
Tak hanya korban GAM, di panti asuhan yang sudah dilengkapi sekolah SD hingga SMA ini, juga banyak dihuni anak-anak dari keluarga tidak mampu bahkan yatim piatu. Seperti Rahmat Hidayat (19), asal Padang. Ia dititipkan di panti asuhan karena bapaknya sudah meninggal. Rahmat sempat menjadi anak jalanan selama setahun dan tidak sekolah. Menengak minuman keras, ngelem, merokok pernah dilakukan Rahmat.

Sama halnya dengan Ishaq Harahap (18), anak yatim piatu ini ini juga sempat tidak sekolah selama 2 tahun karena tidak ada biaya. Walau tidak hidup di jalan, Ishaq tidak mau pulang ke rumah. Ia memilih tinggal di rumah temannya. Sejak itulah, siswa kelas 1 SMA ini di antar ke Panti Asuhan Hidayatullah oleh orangtua temannya itu. (agn)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar