Rabu, 10 Oktober 2012

Bantu Tuntaskan Kuliah Habibie

Sri Rejeki Chasanah Soedarsono

Usia sudah 74 tahun. Tapi semangat 24 tahun. Itulah Sri Soedarsono, adik kandung, BJ Habibie, Presiden RI ke 3.
Lorong-lorong di lantai dua Rumah Sakit Budi Kemuliaan, Pelita, Batam sepi. Tak ada satupun lalu lalang pegawai RSBK. Tidak juga terlihat satupun aktivitas di dalam ruangan-ruangan yang ada di lantai dua itu. Hanya satu ruangan di ujung lorong yang terdengar suara orang bercakap-cakap. Hampir satu jam lebih mereka berbincang. Belum lagi mereka selesai berbicara, dua orang tamu masuk. Seketika suara kegembiraan menyambut dua orang itu terdengar  dari celah pintu yang terbuka sedikit. ''Siang bu Dar,''kata tamu itu menyapa seorang wanita yang duduk di belakang meja kerjanya.
Wanita berbaju ungu itupun menyilahkan dua tamunya duduk di kursi yang didepannya terdapat meja panjang. Sambil ngobrol, sesekali pegawai RSBK masuk minta tandatangan.
''Maaf siang ini saya ada rapat jam 3. Kita ngobrolnya dibawah saja ya. Sambil kaki saya diterapi,''ajak wanita bernama lengkap Sri Rejeki Chasanah Soedarsono Habibie, Selasa lalu.
Sejak suaminya, Soedarsono Darmo Suwito meninggal, Sri melakukan aktivitas sendiri saja. ''Di rumah biasanya saya senang di depan komputer. Mengetik proposal. Sambil mendengarkan TV. Jadi kalau ada yang menarik, saya hanya melihat sebentar,''kata adik kandung BJ Habibie, mantan Presiden RI.
Besok, kata Sri, ia akan ke Jakarta dan Bandung. Tapi sebelum berangkat, ia diminta membuka peresmian Bank.
Di Jakarta dan Bandung, Sri hendak melihat beberapa yayasannya. ''Ada sekitar 2500 orang buta yang saya urusin, ada juga penderita ginjal. Kalau yang akan saya kerjakan besok, yaitu melatih anak jalanan di Batam. Jadi anak dan orangtuanya kita didik, dan ada evalusinya. Tujuannya supaya anak-anak kembali sekolah, orangtuanya punya usaha sendiri.  Jadi tidak lagi kembali ke jalanan,''kata Sri yang rutin berkeliling pulau-pulau di Batam membagikan sembako setiap kali bulan Ramadan tiba.
Sri pun bercerita mengapa ia begitu senang berkecimpung di bidang sosial. Ia mengaku terinspirasi RA.Tuti Marini, ibu kandungnya. ''Ibu saya itu suka sekali menolong orang. Makanya anak angkatnya banyak,''kata Sri anak keenam dari delapan bersaudara.
Ibu, kata Sri, selalu mengingatkan dirinya bahwa perempuan itu harus serba bisa. ''Dulu saya menyusui anak-anak, juga mengantar sekolah. Mengantar makanan untuk suami, walau lagi hamil besar. Setelah anak-anak besar, saya mulai ikutan organisasi. Dulu waktu kecil saya juga pernah bantu Palang Merah Indonesia,'' kenang Sri yang merupakan pemilik RSBK, yayasan ginjal, yayasan yang mengurusi penderita HIV AIDS, anak jalanan,  sekolah anak-anak berkebutuhan khusus dan cacat.
Sri juga teringat pesan ibunya agar tidak bertengkar dengan saudara karena harta. ''Ayah kami Alwi Abdul Jalil Habibie, seorang Inspektur Jenderal Pertanian (Dirjen). Beliau sudah lama meninggal karena sakit jantung. Waktu ayah meninggal,  adik bungsu saya masih berumur 7 bulan di kandungan ibu. Karena kami ditinggal masih kecil-kecil, makanya  kami saling menjaga dan rukun sekali. Kalau ada yang keluar kota atau keluar negeri, pasti oleh-olehnya sama. Dan semua dapat, kakak saya Habibie yang sering melakukan itu,''kata Sri.
Sri pun menyebut satu persatu nama saudaranya mulai dari Titi Soebono, yang merupakan orangtua dari Adri Soebono, pemilik Event Organizer terkenal di Indonesia. Lalu yang kedua, Satoto Habibie, Alweni Habibie, Rudi Habibie (nama panggilan BJ Habibie), Fani Habibie, Yayu Muhsin dan si bungsu Suyatim Habibie.
Sri pun teringat masa-masa kecil ketika bermain bersama saudara-saudaranya di kota Pare-pare tempat kelahiran mereka. ''Kami suka main di sungai. Zaman dulu, kami juga suka buat pop corn. Kalau pak Habibie, dia paling suka main kuda-kudaan yang dibuat dari batang daun pisang. Dia juga suka buat kapal-kapalan dari kulit jeruk Bali,'' cerita Sri.
Sewaktu pindah ke Bandung, Sri bercerita kalau umurnya masih 12 tahun. Ia masih kelas V SD, sedangkan BJ Habibie sudah SMP. ''Empat anak saudara perempuannya bisa sekolah hingga SMA. Sedangkan yang laki-laki sampai perguruan tinggi. Pak Habibie saja yang sekolahnya sampai ke Jerman. Saya yang sudah tamat sekolah Asisten apoteker, membantu ibu membiayai kakak saya itu, dia melanjutkan studi teknik penerbangan, spesialisasi konstruksi pesawat terbang di RWTH Aachen, Jerman Barat. Kakak saya ini cepat lulusnya, nilainya summa cum laude. Gelarnya doktor ingineur,''kata Sri dengan wajah bangga.
Dari usaha hotel melati dan katering itu, Sri membiayai kakaknya. ''Karena kondisi keuangan yang berkekurangan. Pak Habibie hanya bisa makan siang saja. Untuk makan malam, ia hanya punya sebuah apel. Untuk menghilangkan rasa lapar, Habibie suka ke perpustakaan. Di sana ia bisa membaca buku dan melupakan lapar. Tapi disana juga ia dapat rezeki makan malam, karena petugas perpustakaan sering memberi makanan karena kasihan melihat Habibie,'' kata Sri sambil tertawa.
Ia juga bercerita tentang perjuangan kakaknya ke kampus hanya dengan sepatu satu. ''Kakak saya ngak mampu naik bus, hanya bisa naik kereta api paling murah. Dan harus jalan kaki. Padahal waktu itu musim hujan. Sepatu basah, lalu diperasnya. Dan dipakai lagi. Karena lihat kegigihannya itu, saya dan ibu berusaha sekuat tenaga membiayai kuliah,''kata Sri.
Kini Habibie menjadi anggota keluarga yang paling membanggakan. Ia pernah menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi, wakil presiden, lalu Presiden RI yang ketiga. Di Batam, kata Sri, kakaknya juga menjadi pioner pembangunan kota ini. ''Waktu itu pak Habibie pernah menjabat sebagai ketua Otorita Batam masa Orde Baru. Ia mengajak suami saya untuk menjadi Kabalag OB. Katanya dia butuh orang yang kuat mental dan fisik. Kalau saudaranya tidak ada yang bisa karena orang sipil. Kalau suami saya kan tentara. Pasti bisa menghadapi kerasnya kota Batam yang waktu itu penduduknya baru 6000 orang,''kata Sri.
Dalam keluarga kami, kata Sri, saling membantu adalah hal yang paling penting.
Satu lagi adalah kedisplinan. Sri mengaku ibunya sangat menerapkan itu pada semua anak-anaknya. Bahkan sejak menikah, Sri dituntut menjadi berani. ''Usia saya baru 19 tahun, suami saya adalah komandan. Otomatis saya menjadi ibu ketua. Saya harus bisa pidato,sering dimintai nasehat. Padahal pengertian cerai saja saya tidak tahu, tapi saya sering dimintai nasehat istri-istri tentara, pokoknya saya ini lulusan universitas alam. Dari pengalaman di lapangan jadi serba bisa,''kata Sri sambil tersenyum.
Sebagai ibu empat anak, tugasnya menyekolahkan anak-anaknya sudah tuntas dan sudah memiliki usaha masing-masing. Anak pertamanya, Masmariyanto, adalah pemilik kilang minyak di Amerika. Yang kedua, Ade Afiyanto, Direktur Pabrik Senjata terbesar di Asia Tenggara, anak ketiga,, Hari Rudiono, arsitek. Dan si bungsu, Sri Utami, dokter gigi. Suaminya deputi Menristek di Jakarta. ''Si bungsu ini sekarang beralih profesi mengurusi anak-anak autis,''kata Sri lagi.
Sri pun bercerita lucu, soal nama anak ketiganya. ''Waktu itu saya mau melahirkan, suami sedang ikut perang. Yang menunggu saya pak Habibie. Makanya dikasih nama Hari Rudiono. Yang dalam bahasa jawa artinya hari itu ada Rudi (nama panggilan pak Habibie),''tutur Sri sambil tertawa. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar