Kamis, 11 Oktober 2012

Butuh Rumah Perlindungan Sosial Anak

Kasus-kasus Kekerasan pada Anak di Batam

Dari luar, Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Bunga Rampai cabang Batam itu sepi. Tidak ada plang nama RPSA, karena memang rumah di blok A No 11 perumahan Taman Bepede Batam Center itu bukan sekretariat RPSA. Rumah itu milik Reni Widya. Reni adalah penanggungjawab RPSA cabang Batam. Ia meminjamkan rumah pribadinya sebagai tempat sementara RPSA. ''RPSA hanya ada di Tanjungpinang, Batam belum punya. Padahal sudah seharusnya ada. Karena kasus kekerasan pada anak di Batam terus meningkat,''kata Reni, penanggungjawab RPSA cabang Batam yang ditemui Batam Pos, Rabu (28/12).

Sejak hari Minggu lalu, untuk pertamakalinya, Reni menggunakan rumahnya untuk menampung korban kekerasan pada anak. Dia seorang bocah laki-laki berumur enam tahun. Siang itu, Yudha, itulah nama bocah itu, tampak asyik tidur-tiduran diatas sofa di ruang tamu. Ia menonton film Super Hero yang ditayangkan Global TV.

Bocah laki-laki ini menjadi korban penganiayaan ibu kandungnya. Kasus ini terungkap, setelah Yudha memperlihatkan luka-luka yang ada di tubuhnya pada guru ngajinya.

Sejak Maimunah, ibunya ditahan polisi, Yudha dititipkan di Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Bunga Rampai Cabang Batam. Di RPSA ini Yudha akan diterapi dan diobati seluruh luka-luka yang ada disekujur tubuhnya.

''Rencananya saya akan bawa ke dokter lagi. Dia masih sering mengeluh pusing. Mungkin efek pukulan di kepala. Untuk sementara biaya pengobatan masih menggunakan dana pribadi saya. Tapi saya sudah berkordinasi dengan Ibu Kristin dari Dinas Sosial Propinsi,''kata Reni yang tidak berani menyentuh kepala Yudha yang penuh benjolan-benjolan.

Kalau luka-lukanya, tambah Reni, sudah mulai mengering. Padahal sewaktu di bawa kesini, kaki kirinya masih lebam-lebam, punggungnya juga masih penuh luka. ''Saya juga belikan trombopop untuk menghilangkan memar-memar,''kata Reni lagi.

Memang luka yang ada di kaki, punggung dan kepala Yudha sudah tak terlihat lagi. Hanya terlihat bekas-bekasnya saja. Di pipi bocah yang belum lancar bicara itu banyak terlihat goresan-goresan putih. Di belakang telinga juga ada bekas luka yang sudah mengering. Sedangkan luka dibibir atasnya belum begitu sembuh. Luka itu akibat dijepit ibunya dengan gunting kuku. ''Didepan polisi, dokter juga wartawan, Yudha cerita semuanya,''kata Reni yang menemani Yudha saat pemeriksaan di Rumah Sakit Kasih Sayang Ibu, Senin lalu
.
Seperti luka didagu, kata Yudha, ia didorong mamanya di lantai. Perutnya juga diinjak-injak mama juga papa. Karena bicaranya tidak jelas, Yudha selalu memperagakan semua ceritanya. Ia mencontohkan gerakan menendang, dan ia juga menjatuhkan tubuhnya ke lantai dan berguling-guling. Kemudian ia juga menunjuk perut yang diinjak-injak mamanya.

Siang itu, saat di temui, Yudha lebih banyak menceritakan hari-harinya bersama Reni. Namun sesekali ia berbaring dan termenung sambil memeluk boneka panda. Tatapannya kosong, sambil mulutnya bergerak-gerak seperti mengunyah sesuatu. Saat Yudha terlihat termenung, Reni buru-buru mengajak Yudha bicara. ''Anak dengan kondisi trauma seperti ini tidak boleh dibiarkan melamun. Kita harus ajak dia bicara,''tutur wanita yang pernah menjadi konsultan pemberdayaan masyarakat Bank Dunia selama lima tahun.

Menurut Reni, Yudha mulai terlihat murung dua hari belakangan ini. Sepertinya, ada kontak batin dengan mamanya. ''Mungkin mamanya mulai merasakan kesalahan yang diperbuat pada anaknya, tutur Reni.

Siang itu, Yudha sudah tidak lagi mengenakan baju ngajinya. Dia sudah memakai baju baru yang dibelikan Reni. ''Sewaktu diselamatkan warga, Yudha hanya pakai baju ngaji saja. Bajunya hanya itu. Tapi sejak dititipkan disini, banyak warga yang simpati dan membelikan Yudha baju dan mainan,''tutur Reni.

Yudha terlihat senang memainkan mobil-mobilan berwarna merah. Ia juga menunjukkan celana renang bergambar mobil. Yudha juga banyak makan. Ketika di ajak makan di Kentucky Fried Chicken, Yudha sangat senang. ''Anak ini memag tidak pernah dibawa kemana-mana. Hanya dikurung di rumah saja. Tak heran, ketika diajak keluar rumah, senang bukan main. ''cerita Reni.

Di rumah, kata Reni, Yudha juga suka makan. Makannya lahap dan banyak. Semua makanan yang dia lihat dimakan. Kadang sudah ada lauk ayam, dia masih minta ikan. Seperti siang itu, Yudha sudah membawa sepiring nasi yang sudah ada sayur tahu. Kemudian dia juga membawa kantong kresek berisi dua buah kue. Ia kemudian makan hanya sesuap. Dan beralih memakan kue yang yang ada dikantong plastik tadi. ''Sepertinya Yudha juga jarang diberi makan. Kata dokter yang memeriksa, Yudha kekurangan nutrisi. Berat badannya saja hanya 12 kg. Rambutnya tidak hitam mengkilat melainkan pirang. Kulitnya juga pucat, bola matanya juga tidak hitam. Kata dokter Fajri, faktor ini juga yang menyebabkan Yudha terlambat bicara,''jelas Reni.

Diusianya yang keenam, Yudha memang tidak seperti teman-teman seusianya. Setiap kali mengucapkan kata-kata tidak ada satupun yang jelas. Seperti saat Yudha menyebut angka 1 sampai 20. Kemudian huruf a sampai z. Dan huruf arab dari Alif sampai Ya. Tidak ada yang bisa diucapkan dengan kata-kata penuh. Terkadang ujung kata saja, itupun dengan sengau. Mirip sekali mendengar bicara orang berbibir sumbing. Karena itu Yudha sering menambahkan dengan bahasa tubuh atau menunjukkan benda yang dimaksud.

''Makanya nanti, Yudha juga akan diterapi bicara selain terapi psikologis. Walau nanti, Yudha dipulangkan kekeluarganya (pamannya). Dia akan tetap diterapi,''tutur Reni.

Selama di titipkan di RPSA, Reni mengaku tidak melihat kenakalan yang dilakuka Yudha. Reni pun mengaku heran, apa yang diperbuat Yudha hingga ibunya memukul anaknya itu. ''Yudha anak mandiri. Dia bisa mandi sendiri. Dia tahu mandi harus pakai sabun. Cebok juga bisa sendiri. Makan juga tidak pernah disuapi. Bahkan dilarang untuk melakukan sesuatupun dia mau dengar dan menurut,''kata Reni.

Yudha sepertinya sangat menikmati tempat tinggal barunya itu. Ia bahkan tak mau kembali ke mamanya. Ia juga mengaku tidak punya adik dan tidak sayang dengan adiknya.''Itu bukan adik Yudha. Itu adik mama,''kata Yudha dengan omongan yang terbata-bata.

Yudha terlihat riang, ketika diajak baris berbaris. Senyumnya mengembang. Ia juga menyebut cita-citanya. ''Yudha ingin jadi polisi, pilot juga dokter,''kata Yudha.

Obrolan-obrolan seperti ini yang selalu dilakukan Reni bersama dua anaknya. Ia berupaya Yudha tidak termenung. ''Kalau sudah ada RPSA seperti di Tanjungpinang, ada yang menungggui Yudha 24 jam. Ada tenaga khusus untuk mengawasi,''kata Reni.

Menurut Eri Syarial, anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kepri, memang sudah saatnya Batam punya RPSA dan panti rehabilitasi. Karena kasus-kasus pada anak terus meningkat. Baru-baru ini trafiking, korban terpaksa dititipkan di selter polisi. Ada juga kasus pencurian yang dilakukan oleh anak. Seharusnya, kata Ery, anak tidak perlu dihukum tapi ditempatkan di panti rehabilitasi.

''Jadi selama ini, anak yang tersangkut kasus pencurian dibawa ke Jakarta untuk direhabilitasi. Tapi kadang dikembalikan ke orangtua. Kalau ke orangtua biasanya tidak ada pembinaan, kadang tidak ada pengawasan dari orangtua lagi,''kata Ery.

Dengan adanya RPSA dan panti rehabilitasi, korban maupun pelaku sama-sama menerima pembinaan dan terapi psikologi. ''Untuk ibu yang menjadi pelaku penganiayaan akan diterapi. Demikian juga anak yang jadi korban. Tujuannya akhirnya, agar mereka bisa sembuh dari trauma dan kembali berkumpul,''kata Ery lagi.

Belakangan ini, kata Ery, kepedulian masyarakat terhadap kasus kekerasan pada anak mulai ada. Penderitaan Yudha bisa dihentikan setelah laporan tetangga. Warga sudah tidak tahan melihat luka-luka Yudha yang makin banyak. Tolerasi warga juga sudah tidak ada lagi, karena surat teguran yang pernah ditandatangani orangtua Yudha agar tidak memukuli anaknya lagi tidak dijalankan.

Maimunah pun dilaporkan ke polsek Batu Besar, Sabtu lalu. ''Untung saja warga segera mengambil keputusan untuk melaporkan kasus penganiayaan ini. Jika tidak, kejadian yang menimpa Isabela bisa terulang. Gadis cilik yang  meninggal setelah dianiaya ibu kandungnya juga,''kata Ery.

Jauh sebelum kasus ini, sekitar tahun 2009 lalu, ada juga kasus yang sama menimpa balita bernama Rizky. Ia juga menjadi korban penganiayaan yang dilakukan Ema, ibu kandungnya. Motifnya hampir sama dengan kasus Yudha. Karena kesal dengan bapak kandung anak itu, mereka melampiaskan pada anaknya. Kedua wanita ini sama-sama ditinggalkan begitu saja tanpa ada pertanggungjawaban.

Sebenarnya, kata Ery kasus kekerasan pada anak sudah ada di dalam rumah tangga manapun. Mencubit saja sudah termasuk dalam kekerasan pada anak. Tapi biasanya yang sudah berlebihan saja yang dilaporkan warga. Seperti luka-luka akibat pemukulan yang sudah banyak. Atau bahkan ada yang sampai tidak sadarkan diri bahkan sampai meninggal. ***




Tidak ada komentar:

Posting Komentar