Kamis, 11 Oktober 2012

Rela Belajar Lagi untuk Anak-anak Pulau

Empat Perempuan Pulau diajari Jadi Guru

Sandal jepit itu dilepasnya di depan pintu masuk salah satu ruangan di TK Hangtuah Bengkong. Sambil mengendong Abu Azwansyah, putra bungsunya yang masih berusia 10 bulan, Kamisah duduk di bangku kecil. Di belakangnya duduk Syarifah, Ema dan Bainun. Mereka adalah ibu-ibu dari pulau yang ditawari Imbalo, pemilik Yayasan Hangtuah menjadi guru di pulaunya masing-masing.

''Saya kasihan lihat anak-anak di tempat kami. Banyak yang tidak bisa baca tulis,''kata Kamisah yang tinggal di Pulau Kampung Baru, kelurahan Subang Emas Rempang Cate. Alasan itulah, membulatkan tekad ibu tiga anak ini berangkat ke Bengkong seorang diri dengan ojek.

Pagi itu, Selasa (28/2), sambil mendengarkan penjelasan Solpi Yanuar Yani, kepala sekolah TK Hangtuah, Kamisah memegangi anaknya yang berjalan menuju meja dibelakang. Sesekali Kamisah membujuk anaknya yang mulai rewel dengan memberi sebotol minuman mineral yang ada dimeja. Tapi, ternyata, tak juga membuat Abu diam. Akhirnya Kamisah menenangkan anaknya dengan cara disusui. Abu pun tenang, kesempatan itu segera dipakai Kamisah menulis penjelasan yang diberikan Solpi di buku tulisnya.

Melihat putranya sudah tertidur pulas, Kamisah segera meletakkannya pada dua bantalan kursi yang sudah ditata di lantai. Kemudian, Kamisah kembali ke meja dan mendengarkan lagi. Sesekali tangannya menulis. Lulusan SD yang pernah mengikuti paket C ini terlihat sangat aktif. Dia juga yang menyederhanakan penjelasan Solpi pada temannya. ''Walaupun baru anak kita yang diajar, tetap harus ada buku untuk catat hasil belajar,''kata istri dari seorang buruh ini pada Syarifah.

Syarifah yang bertubuh tambun itu mengiyakan. Walau tak banyak bicara, istri seorang guru SD di kampung Kalok, Ujung Rempang ini juga terlihat serius mendengarkan. Syarifah mengaku sangat tak sabar ingin  mengajari agama pada anak-anak. ''Saya kasihan lihat anak-anak. Senangnya main terus. Pulang sekolah langsung main. Makanya saya ingin anak-anak punya tempat untuk belajar agama,''kata ibu dari dua anak ini.

Syarifah tidak datang sendiri, dia mengajak Bainun keponakannya. Bainun, gadis yang masih berusia 18 tahun ini ingin juga menjadi guru. Ia ingin bisa mengajar anak-anak di kampungnya. Sejak lulus SD, Bainun hanya di rumah. Ia hanya membantu orangtuanya memasak.

''Jadi ibu-ibu, kita harus punya absensi seperti ini. Kita akan tahu sampai mana anak-anak itu belajar. Sudah lancarkah mereka atau belum. Jangan sampai kita yang bertanya ke anak-anak itu. Mereka bisa saja berbohong. Semakin kita lebih tahu, anak-anak makin suka. Mereka paling suka lihat guru yang serba tahu. Kalau sudah seperti itu, biasanya anak-anak mau saja mengikuti perintah kita. Mendengarkan apa yang kita ajarkan,''kata Solpi, didepan ibu-ibu itu.

Belajar lagi seperti ini memang tak pernah dibayangkan bagi keempat perempuan itu. Ketika tawaran belajar itu datang dari pak RW dan pak RT, mereka juga masih heran bahkan sempat menolak. Ema misalnya, wanita yang tinggal di Pulau Teluk Nipah ini merasa tak perlu jauh-jauh belajar mengaji ke Batam. ''Tak payah lah pak. Belajar Iqro saja tak perlu jauh-jauh ke Batam,''kata Ema waktu itu ketika ditawari Imbalo.

Namun karena Imbalo menjanjikan akan membuatkan sekolah untuk anak-anak usia dini (PAUD), Ema pun tertarik. Saya bahkan diminta mencari teman yang bisa ngaji untuk diajak sekalian ke Batam. ''Ternyata ibu-ibu disana banyak yang tak bisa ngaji. Makanya saya saja yang berangkat. Saya memang sudah ngajar ngaji di mushola Taqwa, mushola yang dibangun pak Imbalo di pulau kami,''tutur wanita yang hanya lulus SD ini.

Selama empat hari di Batam, Ema harus meninggalkan dua anaknya dirumah. Suaminya yang menjaga anak-anaknya. ''Suami saya nelayan. Mungkin dia tak melaut, karena jaga anak-anak,''kata Ema yang mengenakan sandal jepit yang sudah lusuh.

Tempat tinggal Ema, paling jauh diantara tiga temannya. Pulau Teluk Nipah ini terletak sekitar 4 mil dari Kampung Baru Pulau Galang Baru, untuk mencapai Pulau Galang Baru harus melalui jembatan 6 (enam) terlebih dahulu. ''Pulau Teluk Nipah ini lebih dekat ke Tanjungpinang. Saya kesini sendiri, naik pompong, sambung naik angkot di Tembesi. Sampai di Tembesi di jemput pak Imbalo,''kata Ema menceritakan perjalanannya kemarin.

Di Pulau tempat tinggal kami, kata Ema, banyak Suku Laut. Sudah 20 tahunan juga mereka bermukim disitu. Ada sekitar 30an kepala keluarga yang tinggal disitu. Hanya sekitar 12 kepala keluarga saja yang beragama Islam.

Di pulau itu juga Imbalo telah mendirikan mushola. Dari Abdullah pria tua asal Flores yang matanya sudah tak bisa melihat lagi inilah, Imbalo mendapat sebidang tanah yang kemudian dibangun mushola bernama Taqwa. Abdullah yang berusia 70 tahun ini sudah berpuluh tahun menetap disana,ia yang mewakafkan sebidang  tanahnya untuk kami bangun sebuah mushala kecil.

Anak-anak Suku Laut yang muslim telah dapat belajar mengaji. Ema lah yang mengajarkan mereka. ''Sejak ada guru mengaji dan mushola, anak-anak tidak lagi harus nyebrang ke pulau Nanga berciau. Kalau hari hujan dan gelombang, susah nak menyeberang laut. Tapi kalau sekolah SD masih harus nyeberang ke Pulau Sembur. Biaya pompongnya satu bulan Rp30 ribu,''kata Ema ibu dari dua anak ini.

Nanti kalau sudah ada Paud disini, kata Ema, anak-anak bisa belajar, mereka tetap bisa bermain tapi sambil belajar. Ema mengatakan itu dengan bersungguh-sungguh. Melihat semangat perempuan-perempuan dari pulau-pulau terpencil inilah, membuat Solpi ikut semangat. Berulang kali ia membangkitkan kepercayaan diri wanita-wanita. ''Kalau mengajar coba campur dengan menyanyi. Ganti saja kata-katanya tapi lagunya pakai lagu yang sudah ada,''kata Melnawati, guru TK Hangtuah yang saat itu juga memberi pelajaran.

Solpi dan Melnawati kemudian mencontohkan lagu Balonku yang diganti dengan kata-kata yang isinya mengajak anak-anak tidak berbohong. ''Jadi kita tidak memarahi, cukup disindir dengan lagu. Dari lagu ini saja, kita sudah memasukkan pelajaran moral,''timpal Solpi.

Selain pelajaran moral, selama empat hari itu, Kamisah, Syarifah, Ema dan Bainun diajari cara mengenalkan pada anak-anak huruf Hijaiyah, Aqidah Islam, Rukun Islam, sholat, fiqih, tajwid juga administrasi sekolah. ''Kami mulai dari jam 08.00 sampai jam 16.00 WIB. Istirahat 1,5 jam. Guru-guru yang mengajar ada dari guru BP SD, guru tajwid SD dan beberapa guru TK,''jelas Solpi yang pagi itu mengajar administrasi sekolah. ***


Butuh Meja untuk Sekolah

Kemarin (1/3), Kamisah, Syarifah, Ema dan Bainun sudah kembali ke pulaunya masing-masing. Jadwal belajar mereka dipercepat, dari rencana satu minggu. Karena Abu Azwansyah, anak Kamisah sakit. Rabu malam lalu, Abu tiba-tiba panas tinggi dan dibawa ke rumah sakit Harapan Bunda. ''Alhamdullilah sudah baikan. Tapi mereka minta pulang dulu. Belajarnya sambil jalan saja,''kata Imbalo.
Karena itu, dalam minggu ini Imbalo dan beberapa guru akan ke pulau-pulau itu. Sekalian kami mau buat meja untuk sekolah. ''Kalau ada yang ingin menyumbang meja, kami sangat terbantu,''kata Imbalo mengeluarkan biaya sendiri.
Imbalo memang sangat peduli dengan pendidikan di pulau-pulau terpencil. Ia sendiri yang mendatangi warga dipulau-pulau itu. Ia juga yang menjemput, bahkan menampung keempat wanita-wanita itu dan menangung semua makan dan kebutuhan hariannya selama dilatih menjadi guru. Seperti siang itu, Imbalo minta pada istrinya untuk mencarikan baju untuk Kamisah. ''Carikan dulu bajunya bu, yang tadi itu tak ada yang muat. Kasihan dia tak punya baju lagi,''kata Imbalo pada istrinya yang sedang menjaga minimarketnya.
Setelah Kamisah, Syarifah, Ema dan Bainun, Imbalo berharap ada lagi perempuan-perempuan di pulau lain yang mau diajari menjadi seorang guru. Tanpa biaya bahkan ditanggung makan dan tempat tinggalnya.(agn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar