Kamis, 11 Oktober 2012

Sekhun, si Tukang Becak yang Jadi Sarjana

Boat dari pelabuhan Sekupang baru saja merapat di pelabuhan Belakang Padang. Namun tak satupun penumpang boat tadi memilih naik becak. Mereka justru memilih naik ojek, tapi ada juga yang hanya berjalan kaki. Sekhun (50) yang sedari tadi duduk di bangku panjang menatap satu persatu penumpang yang melewati becaknya. Sejak pukul 08.00 WIB Sekhun sudah ada di pangkalan becak  depan kedai kopi yang juga tepat berada disebelah kanan pintu keluar pelabuhan. Begitu setiap hari yang dilakukan Sekhun, mengenjot becaknya mengantar penumpang dari satu tempat ke tempat lain di pulau yang luasnya 68,2 km persegi itu.

Tak terasa, sudah dua puluh tahun Sekhun melakoni pekerjaan ini. Dari Purbalingga, ia bersama Kusmiati, istrinya dan Farah Soraya, anak sulungnya datang ke Belakang Padang. Mencoba peruntungan hanya dengan uang yang tersisa Rp190 ribu. "Malam harinya saya cari sewaan becak. Waktu itu saya dapat becak yang sewanya Rp30 ribu perbulan. Tapi alhamdulilah 2 tahun narik becak, saya bisa beli becak Rp600 ribu,"kenang Sekhun.
Kini, dengan penghasilan perharinya Rp30 ribu, dan masih harus berpanas-panas mengenjot becak, Sekhun bisa sangat bangga memperlihatkan pada ketiga anaknya. Bahwa profesi ini telah membuatnya menjadi seorang sarjana.
Satu bulan lalu, Sekhun resmi menerima gelar sebagai sarjana Pendidikan Agama Islam dari STAI Ibnu Sina.
Dengan susah payah dilaluinya masa-masa kuliah. Hari Sabtu dan Minggu yang seharusnya menjadi hari paling banyak penumpang, harus direlakan demi belajar lagi. "Demi untuk  kebaikan harus ada yang dipaksakan. Saya juga ingin memotivasi anak saya agar belajar lah yang lebih giat dan lebih tinggi. Selain itu memberi mereka prinsip bahwa belajar itu tidak mengenal umur,"kata Sekhun kuliah di usia 46 tahun.
Biaya kuliah memang sering menjadi masalah bagi Sekhun. Sekarang saja, Sekhun masih punya tunggakan uang kuliah Rp11 jutaan. "Pernah waktu itu mau ujian harus bayar Rp130 ribu. Saya pinjam teman sesama tukang becak.  Waktu kuliah di Batam saya pernah ngak ada uang untuk ongkos, untung ada teman-teman yang bantu,"kata Sekhun yang mengambil kelas Extension yang lokal belajarnya numpang di MI amanatul Ummah, Belakang Padang.
Belajar diusia yang tak muda lagi memang membuat Sekhun agak kikuk. Apalagi dari 13 orang teman sekampusnya adalah anak-anak yang baru tamat SMA.
Sekhun memang selalu ingin memperdalam ilmu agamanya. Karena sampai sekarang, Sekhun masih sering dipanggil untuk memberi ceramah agama. "Kalau bulan puasa, saya pasti keliling Belakang Padang ngasih ceramah agama. Sesekali juga dipanggil di masjid yang ada Batuaji Kibing,"kata Sekhun yang pernah jadi guru honorer selama 7 bulan di SD 019 (yang sekarang SD 03) Belakang Padang.
Mengajar agama Islam memang selalu menjadi pilihan Sekhun. Karena itu ia ingin selalu belajar agar dakwah agama yang diberikan tak membosankan. "Di kuliah saya dapat ilmu baru metode pengajaran dakwah. Artinya bermanfaat juga kuliah saya ini. Saya kuliah ini bukan karena ingin menjadi guru, atau hanya berbangga-bangga dengan titel dibelakang nama saya. Tapi saya hanya ingin memotivasi anak saya saja,"kata pria yang juga pintar menjahit.
Sekhun memang tipe orang yang suka belajar. Keahlian menjahitnya saja diperoleh hanya dengan melihat-lihat temannya yang seorang penjahit. "Waktu itu saya lagi malas narik becak. Jadi saya belajar menjahit saja. Ngak terasa sekarang sudah 8 tahun terima jahitan di rumah,"kata pria yang tinggal di Kampung Jawa RT3 RW2, Sekanaraya, Belakang Padang.
Tak hanya tetangganya saja yang menjahitkan baju pada Sekhun. Tapi Sekhun juga dapat order menjahitkan baju sekolah SDI Integral Luqmanul Hakim. "Kebetulan anak saya ngajar disana. Farah Soraya, anak sulung saya ini  kerja sambil kuliah. Sekarang dia sudah semester 6 jurusan Bahasa Inggris Fakultas Ilmu Keguruan Unrika,"cerita Sekhun yang ingin anaknya ini belajar mandiri.
Diakui Sekhun, ia dan anaknya hanya berselisih satu tahun saja ketika mulai mendaftar kuliah. Farah saat itu masih SMA. Ia berharap dengan kuliah,  Farah terpacu untuk kuliah juga. "Alhamdulliah terwujud. Nah. Yang sekarang adiknya yang kedua juga sudah bercita-cita mau kuliah di  Al Azhar. Tapi untuk sekarang biar sekolah dulu di Sulawesi disana ada Tahfiz Quran murah, semoga niatnya tercapai,"harap Sekhun yang ditemui Batam Pos, Selasa (12/6).
Ia berharap pekerjaannya sekarang bisa mewujudkan keinginan anak-anaknya. Sekhun pun bercerita ketika tahun 1992 saat pertamakali narik becak. Jumlah becaknya tak terlalu banyak. Kalau sekarang ada sekitar 170 becak. Yang jalan hanya separuhnya. Dulu uang Rp30 ribu sudah banyak, karena semua belanjaan murah. Kalau sekarang serba mahal. Makanya istri kadang ngomel. Apalagi ditambah biaya kuliah saya. Tapi lama kelamaan istri bisa terima keadaan. Dia maklum,"kata Sekhun sambil tersenyum.

Jahitan lah yang kadang menolong. Tapi tidak bisa terlalu diharapkan, begitu kata Sekhun. Saat-saat tertentu seperti lebaran, ia kebanjiran order. "Sekarang saja saya sudah tidak terima jahitan lagi. Sudah penuh sampai puasa,""kata Sekhun yang sudah mulai menularkan ketrampilan menjahitnya pada istri. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar