Minggu, 14 Oktober 2012

Demi Nyawa Pasien, Dinihari Naik Perahu Motor Pakai Senter

Kisah-kisah Tenaga Medis yang Bertugas di Kabupaten Lingga

Jam dinding di ruang operasi Rumah Sakit Umum Dabo Singkep menunjukkan pukul 01.30 WIB. Sejak tadi ponsel dokter Malvin berbunyi. Dr. Malvin Emeraldi, SpOG yang masih diruang operasi memberi kode pada salah satu perawat untuk menerima telepon itu. Tak lama berselang, perawat itu masuk kedalam ruang operasi dan memberitahukan sesuatu. ''Dokter, tadi telepon dari perawat di Rumah Sakit Lapangan Daik Lingga, ada pasien hamil dengan perdarahan dicurigai ada robekan rahim. kondisi pasien sudah shok berat, ''kata perawat tadi.


''Telepon lagi, beritahu lima belas menit lagi kami berangkat kesana, operasinya sebentar lagi selesai,'' kata dokter Malvin pada perawat tersebut sambil melakukan tindakan operasi.

Seperti perkiraannya, tepat pukul 01.45 WIB operasi selesai. Bergegas dokter spesialis kebidanan dan kandungan ptt (pegawai tidak tetap) ini dan Darno, penata Anesthesi berangkat diantar mobil ambulance. Perjalanan masih harus ditempuh mereka dari rumah sakit ke pelabuhan Jagoh, tak kurang dari 3/4 jam melalui darat. Sedangkan jalan laut, harus ditempuh 3/4 jam. Sebelum berangkat, dokter Malvin sudah menghubungi pegawai Pemkab untuk menyediakan perahu motor. Karena speed boat puskesmas keliling sedang diperbaiki. Dan memang, saat tiba di pelabuhan, perahu motor itu sudah menunggu di pelabuhan.

Bergegas pria yang bertugas di Dabo Singkep sejak tahun 2009 ini, turun ke bawah ponton bersama tenaga Anesthesi tersebut. ''Dengan penerangan lampu senter, perjalanan kami dimulai,'' kata dokter yang kini telah habis masa kontraknya dan bertugas di RS. Fatmawati Jakarta sebagai staf kebidanan dan kandungan.

Satu jam berjalanan dilalui keduanya. Hujan lebat tak menyurutkan semangat untuk menolong pasien di pulau seberang. Setibanya di Daik, baju yang telah basah karena hujan, mereka ganti dengan baju operasi. ''Alhamdullilah kami berhasil menyelamatkan nyawa ibu tersebut,'' kata alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

''Memang keadaan untuk melintasi laut antar pulau kadang bisa membahayakan, oleh karena itu saya kagum bila ada dokter perempuan spesialis kebidanan dan kandungan yang berani tugas di daerah seperti Lingga, karena dibanding spesialis lain, kasus-kasus kebidanan dan kandungan gawat darurat (perlu penanganan segera) lebih banyak dan tidak mengenal waktu, akan menjadi masalah bila kasus gawat darurat itu terjadi di malam hari di pulau seberang,'' kata dokter yang berjauhan dengan keluarganya di Jakarta.

Dua rumah sakit di Dabo Singkep dan Daik Lingga ini memang melayani penduduk yang tersebar di 531 pulau Kabupaten Lingga.

Menurut Dokter yang gemar mengisi waktu luangnya dengan main video game, harus ada spesialis yang mau menetap disana, karena kita harus membagi waktu untuk 2 pulau yang dipisahkan lautan (Daik dan Dabo Singkep). Namun agar dapat seperti itu, mohon diperhatikan keselamatan para tenaga kesehatan saat menyeberang pulau, buat peraturan atau birokrasi yang dapat menarik spesialis agar mau bermukim di Lingga (terutama spesialis bedah dan kebidanan), pada waktu saya, spesialis hanya mengandalkan pemasukan dari insentif daerah dan pusat, namun datangnya tiap 3 bulan sekali.

Dokter spesialis dan tenaga medis akan betah dan mau tinggal di daerah dengan kondisi geografis seperti lingga ini tentu bila mereka dapat memperoleh penghasilan yang layak sesuai dengan risiko yang mereka hadapi.Karena sistem kerjanya pun standby 24 jam penuh untuk siap dipanggil bila ada kasus kasus kebidanan dan tidak mengenal hari libur.

Seperti pengalaman saya yang lain, ketika itu ada pasien dengan partus macet di malam hari dari Dabo Singkep, karena pada saat itu ahli bius tidak ditempat, kami melakukan operasi di Daik lingga dengan naik pompong saat maghrib dan melakukan operasi dengan pembiusan kami lakukan bersama dengan dokter umum dan alhamdulillah berhasil dengan selamat.

Menunda waktu libur bersama keluarga di Jakarta juga sering dialami Dr Malvin. ''Pernah saat saya hendak ke Jakarta untuk keperluan keluarga yang mendesak, saat hendak mengejar ferry ke Tanjungpinang, pagi hari datang pasien dengan perdarahan habis melahirkan oleh karena robekan jalan lahir. Saya batal berangkat dan menunda keberangkatan saya setelah menyelesaikan pasien tsb. Memang untuk mengunjungi keluarga saya lakukan tiap 2-3 bulan sekali,tapi waktu itu benar-benar ada keperluan mendesak,'' kata dokter yang memiliki seorang putri dan istri yang juga seorang dokter umum di Jakarta.

Walau tak lagi bertugas di Lingga, Dr Malvin tetap selalu kangen dengan suasana kota Dabo maupun Daik. Hal sama juga diakui Darno, penata Anesthesi yang saat ini masih bertugas di kota itu. Suasana kekeluargaan yang kental membuat siapapun betah. Darno mencontohkan ketika selesai sholat berjamaah di Mesjid, selalu bergiliran salaman. Darno yang suka sekali olahrga jalan pagi, bertemu anak-anak ataupun muda mudi yang selalu menyapa dengan sebutan atok (kakek dalam bahasa Melayu). Yang dewasa juga lebih akrab, mereka selalu ingin berkenalan saat pertamakali bertemu. ''Jika lama tak ketemu, mereka juga bertanya,''kata Darno.

Daerah pegunungan membuat kota Dabo dan Daik sejuk. ''Airnya segar sekali karena air PDAM nya dari air gunung Daik. Kalau mandi rasanya tak bosan padahal airnya dingin sekali,''cerita Darno. Pantai menjadi tempat favorit untuk mengisi waktu luang. Umumnya warga pendatang suka sekali duduk-duduk di tepi pantai.

''Kalau saya suka beternak ayam dan ke mesjid. Rasanya senang sekali jika datang waktu sholat. Kalau dokter spesialis Penyakit Dalam suka main pimpong di mess dokter atau berkunjung ke rumah penduduk untuk ngobrol,''kata Darno lagi. Disini suasananya memang aman dan tentram. Kami bahkan suka bercanda. Taruh saja motor di depan rumah siang sampai malam tidak akan ada yang melirik,apalagi mengambil,''canda Darno.***


Nyaris Tenggelam


Ombak besar di musim utara dan musim barat juga menjadi tantangan para medis di pulau ini. Seperti yang dialami dokter spesialis bedah, Ahmad Zumaro. Dokter yang mulai dinas sejak 1 Maret 2010 setiap berpergian melintasi laut selalu membawa ransel yang isinya pelampung.

''Saya selalu bawa dua, yang satu berisi perlengkapan medis milik pribadi saya, pakaian ganti, buku dan laptop yang satu lagi khusus pelampung,''kata Aro, panggilan dokter spesialis bedah ini.Hal sama juga dilakukan Thomas, Dokter spesialis Penyakit Dalam. Dokter yang mulai bertugas 1 April 2010 lalu juga membawa pelampung saat menyeberang ke Dabo ataupun ke Daik. Hanya bedanya Thomas lebih terang-terangan membawa pelambung. ia menenteng pelampung itu tanpa dimasukkan kedalam tas.

Aro mengaku, tiga bulan lamanya pelampung itu masih tersegel dalam plastik pembungkusnya. Tapi hari itu, saya membukanya dan saya kenakan,'' kenang dokter yang ditemui Batam Pos di Hotel Planet Holiday menjelang kepulangannya ke Semarang.

Kondisi saat itu benar-benar mendebarkan. Saya berdua dengan pak Darno, penata Anesthesi memilih naik speedboat jurusan Dabo Singkep - Daik (langsung) sekitar 30 menit. Kami naik speedboat Nabila pukul 07.00 WIB, agar cepat sampai di Daik. Karena tidak perlu melalui jalan darat lagi yang harus ditempuh 3/4 jam. Justru perjalanan kami waktu itu hingga 2 jam. Kami terbawa arus melenceng hingga sebelah timur Buton. Ombak saat itu sangat tinggi sampai 4 meter. Penumpang kapal yang tadinya duduk diatas atap speed masuk kedalam. Speedboat berkapasitas 40 orang itu terasa sangat padat.

Diperkirakan ada sekitar 60 orang naik kapal itu. Saya lihat keluar, ombak di kanan dan kiri kapal ada diatas kami. Saat itu posisi kapal sudah ada dibawah. Mesin kapalpun tidak hidup lagi, nahkoda membawa kapal mengikuti arus saja. Kami yang didalam kapal sudah pasrah, sepatu hingga baju sudah basah karena air sudah masuk kedalam kapal. Ibu-ibu ada yang menangis dan pingsan namun sadar lagi karena segera kami beri pertolongan.

''Saya waktu itu banyak istighfar, saya seperti mendengar bunyi mesin speed itu menuntun saya mengucapkan itu,''kata Darno, penata Anesthesi yang juga pensiunan Angkatan Laut ini.

Kata Aro lagi, saya lihat gunung Daik tambah jauh. Seharusnya makin dekat. Saya pasrah. yang saya ingat keluarga. Saya bahkan merekam momen itu di ponsel. Ini jadi kenangan saya jika sampai terjadi musibah. Sebenarnya ini kondisi kritis kedua, dulu sewaktu bertugas di Tapanuli Utara, truk yang saya tumpangi terguling ke tepi danau Toba.Alhamdulliah, truk tersangkut ladang jagung. Kami terselamatkan.

Aro kemudian melanjutkan ceritanya, ketika sampai di Daik, didepan penumpang, nahkoda kapal mengucapkan terimakasih atas kerjasamanya. Menurut nahkoda tersebut, kami tenang dan membantu doa, hingga membuat speedboat selamat sampai tujuan. Saya langsung menyalami nahkoda kapal tersebut. Ia justru mengatakan rasa syukurnya bisa mengantarkan kami para medis dengan selamat ke Daik.

Menghadapi kejadian mengerikan seperti itu bukan membuat mereka lalu menyerah. Keinginan untuk mengabdi lebih utama.

Tak hanya menghadapi kondisi alam yang keras, mereka juga menghadapi kondisi perangkat medis yang sering tak mendukung kinerja. Seperti yang dialami dokter Dr. Aro, ia harus memodifikasi sendok kuret menjadi scrub driver yaitu semacam alat pembuka scrub atau plat untuk kasus patah tulang. Kuret atau kuretase adalah sebuah tindakan medis untuk mengeluarkan jaringan atau sisa jaringan dari dalam rahim. Saat proses kuret itulah digunakan salah satu alat yang dinamakan sendok kuret.

''Karena tidak ada alatnya, saya pakai sendok yang biasanya digunakan untuk kuret, saya potong bagian ujungnya, alat itu saya gunakan sementara sambil menunggu scrub diver datang,''kata dokter kini telah kembali ke Direktorat Kesehatan Angkatan Darat dan KODAM Diponegoro Semarang.

Kasus medis lain dialami Dr Aro yaitu ketika harus menggunakan tangan perawat untuk menahan bagian tubuh yang sudah di iris agar tetap terbuka lebar. ''Seharusnya ada alat khusus, tapi karena tidak ada kita harus cari alternatif, alhamdullialah operasi berjalan lancar,'' cerita alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Satu lagi, operasi yang berhasil dilakukan Dr Aro bersama tim medis lainnya itu ketika mengoperasi tulang wajah yang mana tulang rahang atas dan bawah patah. Ia berinisiatif menggunakan kawat yang biasa dipakai dokter gigi untuk menyatukan bagian tulang yang terpisah. Ada lagi, ketika harus melakukan operasi kepala korban kecelakaan. Dengan menggunakan bor yang biasa digunakan tukang kayu, Dr Aro memanfaatkan alat itu yang sebelumnya disterilkan terlebih dahulu.

Dokter yang gemar traveling ini mengaku sering malu, ketika ada pasien yang seharusnya bisa ditanggani namun karena keterbatasan alat, tindakan operasi tidak bisa dilakukan. ''Malu rasanya, ada dokter spesialis tapi tidak bisa mengobati,''katanya lagi.

Saat ini, tambah Dr. Aro, Rumah Sakit Dabo Singkep perlu alat radiologi sederhana. Karena beberapa kasus penyakit pada kandung kemih susah dilihat.

Hal sama juga dialami Darno, penata Anesthesi atau yang biasa melakukan pembiusan sebelum operasi. Ia juga selalu berinovasi untuk menghadapi kasus medis. ''Obat-obat bius paten yang diperlukan juga sering tidak ada. Jadi kami mencarikan obat generik yang sama fungsinya,''kata pria yang sudah bertugas di Dabo Singkep selama 3 periode (2008.2009 dan 2010).

Darno pun berharap, ada alat khusus Anesthesi untuk anak-anak di RS Umum Dabo Singkep. Selama ini ia memberi obat bius melaui suntikan. Padahal akan lebih terasa nyaman untuk anak-anak jika menggunakan obat dan alat khusus anak-anak yang bagus.Saat ini kami harus menunda operasi karena harus menunggu dari Daik. kami pinjam dari sana.

Alhamdullilah, Rumah Sakit Lapangan di Daik lebih canggih perangkatnya. Walau didalam kontainer, namun perangkatnyalebih baik.

Dr Thomas juga berharap, sebaiknya ada dokter di dua pulau tersebut. Untuk dokter spesialis penyakit dalam seperti dirinya yang diutamakan adalah evaluasi kontinue. Sedangkan ia hanya bisa menetap selama 2 hari saja, dua hari lagi sudah harus di pulau lain. Dukungan perangkat seperti laboratorium dan obat juga sangat dibutuhkan.

Apalagi tingkat kecelakaan kendaraan bermotor mulai tinggi. ''Anak-anak muda sudah mulai suka kebut-kebutan,'' kata dokter Thomas. Memang untuk angkutan lebih banyak menggunakan ojek motor.

Kalau pompong lebih digunakan oleh penduduk di pulau-pulau kecil disekitarnya. Kota Dabo ataupun Daik juga mulai ramai, dipinggir-pinggir jalan mulai ada penjual makanan lesehan seperti ayam penyet. Sebelumnya untuk mencari makanan, biasanya wraga harus ke pasar. Itupun hanya warung nasi padang. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar