Sabtu, 13 Oktober 2012

Setiap Kali Ngajar Beli Karton

Maria Mediatrix, Pengajar Sukarela Anak-anak Suku Laut di Pulau Bertam

Dia hanya seorang wanita, ibu dua anak. Berani melintas laut dengan pompong kecil demi mencerdaskan anak-anak suku laut.

Lima orang pria baru saja keluar dari laut. Langkah-langkah mereka berat, karena menarik selembar besi tua yang sudah karatan. Lempengan besi bekas  kapal itu tak seberapa lebarnya, tapi cukup membuat wajah kelima orang itu sumringah. Tak lama, suara mesin pemotong besi sudah terdengar di pelabuhan Pandan Bahari Tanjunguncang siang itu. Suara yang menusuk telinga itu tak membuat Maria Mediatrix yang sejak tadi duduk di pelantar itu terganggu. Ia tetap tenang, sambil matanya melihat jauh ke pulau Bertam. Sudah hampir setengah jam, wanita yang menjadi guru sukarela di pulau Bertam itu duduk menunggu pompong yang akan menjemputnya. ''Tadi sudah nelpon pak Muhtar. Saya memang selalu dibantu pak RT untuk antar dan jemput ke pulau,''kata Maria pada Batam Pos, Selasa (9/10) di pelantar pelabuhan Pandan Bahari.
Lima belas menit berlalu, pompong Pak RT yang ditunggu-tunggu tak juga kelihatan. Tiba-tiba ponsel Maria berbunyi, bertanda sms masuk. ''Bu, nanti bapak jemput sekalian antar teri,''kata Maria membaca  sms dari Yayang, anak Muhtar.
Maria pun kembali menunggu di pelantar. Karena yang ditunggu tidak juga datang, Maria pun berinisiatif menyewa pompong nelayan yang sejak tadi bersandar di pelantar. Sebuah pompong kecil akhirnya mau mengantarkan Maria ke pulau yang dikenal sebagai tempat tinggalnya orang-orang Suku Laut.
Pompong yang hanya berjarak sejengkal dari air laut itu membawa Maria dalam hitungan dua puluh menit saja ke pulau Bertam. ''Saya sudah biasa seperti ini. Keliling dari satu pulau ke pulau lain ngasih ceramah agama. Tapi sejak badan saya ngak kuat lagi kena angin laut, saya hanya pergi ke pulau Bertam, ngajar anak-anak juga pengajian dengan ibu-ibunya,''kata Maria di atas pompong.
Empat tahun sudah, Maria bolak-balik Tanjunguncang-Pulau Bertam. Mengajari anak-anak bahasa Inggris. Maria mengaku ingin sekali memberi sesuatu yang beda dari yang ada saat ini. ''Saya asli orang Maluku Tenggara. Di daerah kami, bahasa Inggris dan bahasa Belanda menjadi bahasa percakapan sehari-hari. Makanya Bahasa Inggris saya cukup baik.  Inilah jadi modal saya mengajari anak-anak di pulau,''kata wanita yang kakeknya seorang Belanda.
Siang itu, tak seperti biasa. Maria harus menunggu murid-muridnya di rumah Muhtar, RT pulau Bertam. ''Biasanya saya masih ditengah laut, mereka sudah menunggu. Ada dua puluhan anak yang belajar dengan saya. Mulai dari umur 5 tahun sampai 12 tahun,''kata wanita yang tidak lulus SMA namun sekolah di pesantren.
''Lagi pada di acara pengantin. Makanya anak-anak belum datang. Sebentar lagi dipanggil,'' kata Nurmadiyah, istri Muhtar sambil menghitung uang ribuan dari hasil menjual bers bulog.
Acara pernikahan menjadi hiburan penduduk pulau Bertam, pulau Gara, pulau Linga  dan pulau-pulau kecil  disekitarnya. Mereka datang berbondong-bondong melihat hiburannya. Di pelantar pulau Bertam saja, lalu lalu pompong membawa penduduk sekitar. Mereka datang dengan pakaian ala kadarnya. Ada yang mengenakan celana pendek dipadu kaos u can see, baju tidur juga baju rumah yang warnanya lusuh.
Menjelang pukul 15.00 WIB, satu persatu murid Maria berdatangan. Bocah-bocah berkulit hitam legam masuk kedalam rumah Muhtar sambil membawa buku tulis dan pensil. Fitri (11)datang dengan adiknya, Lara (5). Menyusul Mona (7) datang hanya mengenakan kaos singlet kumal. Juga Lusiana (8). Ratna (11) menjadi murid terakhir yang datang. Bocah berbadan subur ini baru duduk di kelas 2 SD walau umurnya 11 tahun. Di ruang tengah rumah panggung Muhtar itu, Maria mengajak lima muridnya duduk. Menghadap papan tulis yang baru dua minggu ini dibelikan BP Kawasan. ''Saya minta bantuan ke OB. Karena kasihan lihat anak-anak. Sekarang mereka makin semangat belajar. Berebut menulis di whiteboard,''kata wanita kelahiran tahun 1972 ini. Maria pun bercerita bahwa ia selalu membeli karton untuk dijadikan papan tulis. Karton itu dibelinya dengan harga Rp8000. Setiap kali mengajar, setiap kali itu juga, karton baru harus disediakan Maria. Anak-anak juga hanya diberi selembar kertas folio untuk menulis materi yang diajarkan.
Maria memang harus mengeluarkan uang sendiri. Bahkan transportasi pun ia tanggung. ""Ya minimal Rp50 ribu untuk ongkos pulang pergi. Naik angkot dari rumah saya di tiban kampung sampai ke Tanjunguncang. Kemudian ongkos pompong. Saya sering ngasih untuk ganti uang minyak pompong,''kata wanita yang menjadi mualaf sejak duduk di bangku SMU.
Maria yang tidak memiliki pekerjaan tetap ini yakin tetap bisa menjalankan misinya. Ia percaya rezeki pasti datang. Maria memang dikenal sebagai ustazah, pemberi ceramah agama di pengajian ibu-ibu.
Seminggu dua kali, Maria pasti turun ke pulau Bertam. Dua anaknya , Franli Leonardo (9) dan M. Omensyah (8) dititipkan di panti asuhan di Tiban. Dulu sewaktu kedua anaknya masih kecil, yang bayi dititipkan pada pak RT di Tiban Kampung, anaknya sulungnya dibawa. ''Si abang saya gendong. Waktu itu umurnya masih  satu tahun. Anak saya pernah kecebur laut. Dia tiba-tiba jatuh . Untungnya ada yang cepat nolong. Anak saya ngak apa-apa. Sekarang, mereka tidak pernah  saya ngak ajak lagi. Saya titipkan saja di panti asuhan di Tiban,''kata Maria yang kini menjadi single parent sejak suaminya meninggal dunia.
Sore itu, si bungsu tiba-tiba menelpon. Dari obrolan di telpon itu, kedua anaknya minta Maria segera menjemput. "Si adek nangis, katanya udah kangen maminya,''kata Maria.
Maria mengaku sudah menitipkan anaknya sejak dua hari. Karena ia harus ke pulau Bertam mengurus surat penunjukkan dirinya menjadi pengajar di pulau Bertam dan menginap di sana.
''Bu ayo ajarin nyanyi,''kata Lara tiba-tiba membuyarkan lamunan Maria. Mariapun segera bersenandung. Sebuah lagu ciptaannya sendiri ia ajari pada kelima siswanya. ''Nanti kalian siap-siap ikut rekaman ya,''kata Maria pada siswanya.
Sudah beberapa bulan ini Maria sedang menyiapkan album lagu. Ia ciptakan sendiri baik itu kata-katanya juga musiknya. Ada enam lagu yang selesai di aransemen. Seperti Sayangku, bulan bintang, doa bunda, ya Allah, biarkan ku pergi dan kekasihku. ''Lagu-lagu ini sudah bisa didengar. Karena sudah direkam di cd,''kata Maria sambil memperlihatkan sekeping cd.
Nantinya kata Maria, anak-anak suku laut akan ikut bernyanyi. Dari hasil penjualan album ini akan disumbangkan untuk pendidikan anak-anak suku laut.
Sekarang, kata Maria, ia akan konsentrasi dulu di pulau Bertam, selanjutnya ia juga akan mengajar anak-anak di pulau Gara dan Lingka. "Kan jaraknya juga ngak jauh dari pulau Bertam. Kasihan kan kalo tidak ada yang memberi pelajaran tambahan pada mereka.
Maria mengaku  sedih melihat keseharian anak-anak suku laut. Banyak yang putus sekolah. Rata-rata sekolah dasar saja. Tapi ada juga yang tidak sekolah. Mereka lebih memilih cari ikan. ''Kalau Magrib, mereka sulit diajak belajar atau mengaji. Mereka lebih memilih melaut. Biasanya udah pada bawa alat pancing,''kata Maria.
Apalagi ditambah kondisi listrik yang belum ada. ''Genset saya sudah rusak. Sudah tiga tahun dibeli. Dan sudah beberapakali diperbaiki. Kalau lagi bagus, genset itu hanya bisa menerangi 16 rumah saja. Itupun sampai pukul 12 malam,''kata Muhtar yang sudah menetap di darat sejak tahun 1984. Setiap warga yang ingin rumahnya diterangi listrik membayarkan uang sebesar Rp5000 perhari.
Kadang, disaat anak-anak sedang belajar, genset tiba-tiba rusak. Muhtar mengaku tak punya pilihan lagi. Untuk membeli genset baru, ia mengaku belum punya dana lagi. Ia berharap ada pihak-pihak yang berbaik hati dan perhatian pada pendidikan anak-anak suku laut mau menyumbangkan genset ke pulau Bertam.
Saat ini di pulau Bertam, jumlah kepala keluarga mencapai 50 kk. Kebanyakan tinggal di tepi pantai dengan mendirikan rumah panggung. Rumah-rumah tersebut dibangun oleh Otorita Batam tahun 1998. ''Waktu itu pak Soedarsono yang bangun rumah-rumah orang suku laut disni. Baik itu yang di pulau Gara, Bertam juga Lingka),''kata Muhtar. Kondisi rumah yang dibangun OB itu  ada yang sudah rusak. Tapi ada yang tetap ditempati. Kalau sekarang penduduk di pulau Gara sekitar 50 kk, di pulau Lingka 50 kk. Mereka semua orang suku laut, yang tadinya tinggal di perahu. Muhtar bahkan masih ingat saat-saat tinggal di perahu. Berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain. Berbeda dengan Nurmadiyah, istrinya, yang sudah mulai suka tinggal di darat saat remaja. Ia senang ketika  ada yang mengajarinya menjahit dan membuat kue. ''Saya ingin maju,''kata ibu dari Yayang (30) dan Azan (23), guru honorer di SD 006 Pulau Bertam. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar