Kamis, 11 Oktober 2012

Dulu Jalan 5 km Kuat, Sekarang hanya 1 km

Suwarti, Dua Puluh Tahun Jual Jamu

Aroma kencur tercium dari dapur berdinding kayu itu. Sesekali terdengar suara batu uleg beradu dengan coek (alat penggiling). Didalam dapur tanpa jendela itu, seorang wanita berjarik batik yang warnanya sudah memudar  sedang menghaluskan kencur dengan penggilingan batu. Tak sampai 2 menit, kencur itu sudah halus. Kemudian dicampurkan  kencur yang sudah halus tadi dengan tepung beras, garam dan air panas. Dan menyaring kedalam botol kaca yang sudah ada didalam bakul. Setelah selesai, diambilnya bubuk kunyit dan dicampurkan dengan  air panas dan sedikit garam. Jadilah jamu kunir asem. Satu-satunya botol kaca  kosong didalam bakul itu pun terisi. Tas kresek plastik berisi jamu anak sehat, jamu kuat lelaki, rumput fatimah dan jamu singset tak lupa di letakkan diatas bakul.

Tepat pukul 16.00 WIB, wanita yang sudah berusia enam puluh tahun ini berangkat jualan jamu. Mengenakan kebaya bordir warna hijau lengkap dengan stagen yang dililitkan di pinggang.  ''Kalo ngak pake stagen ngak kuat gendong bakul,''kata Suwarti di rumahnya Bengkong Kartini, Kamis (30/8).
Suwarti mengaku, dengan stagen itu juga ia bisa kuat berjalan hingga berkilo-kilo meter. Kelebihan lainnya perutnya tidak pernah gendut. Bahkan dulu setiap kali selesai melahirkan, orangtua Suwarti mewajibkan dirinya memakai stagen yang panjangnya 5 meter dan bengkung.
Berjualan jamu menjadi pilihan Suwarti sejak pindah ke Batam tahun 1992. Ia merasa lebih nyaman punya penghasilan sendiri dan tidak perlu menunggu jatah belanja dari suami. ''Lumayanlah sehari bisa dapat Rp50 ribu,''kata ibu dari 6 orang anak dan 13 orang cucu.
Dua puluh tahun lalu, ketika pertamakali jual jamu, Suwarti yang masih berumur 40 tahun kuat berjalan hingga 5 km. Sekarang, ia hanya mampu berjalan 1 km saja. 
Dulu, kata wanita kelahiran Boyolali, Jawa Timur ini, hampir semua wilayah Batam hutan. Melchem, Mantang, Bukit Senyum, Bengkong Harahapan Bengkong Seken, Bengkong Aljabar adalah hutan lebat. Tapi tak pernah menyurutkan kemauan Suwarti mencari uang tambahan. ''Saya hanya takut orang mabuk saja. Kalau tersesat sudah biasa. Di Pandan wangi juga Melchem pernah nyasar. Bisa masuk tapi ngak bisa keluar. Saya tanya dengan tukang bubur yang saya temui dijalan, eh ternyata dia tetangga saya,''kata wanita yang tetap kelihatan bugar di usianya yang sudah kepala enam.
Kenikmatan berjualan jamu dan memiliki penghasilan sendiri  ditularkan pada 2 anak perempuan dan menantunya.  Kini, kedua anak dan 2 menantunya ikut berjualan jamu. ''Dulu jamunya saya yang buatkan. Sekarang sudah pintar buat sendiri,'' kata Suwarti lagi.
Suwarti mengaku mengajak putri-putrinya melakukan hal yang sama dengan dirinya, untuk tujuan  meringankan beban suami.  '' Lumayan bisa untuk uang belanja sehari-hari juga uang jajan anak-anak,'' kata Suwarti.
Dari hasil berjualan jamu, Suwarti bisa menyekolahkan salah satu cucunya hingga SMA dan membeli tanah kapling yang kini menjadi tempat tinggalnya.
Dulu, Suwarti hanya jual jamu pagi hari saja. Sekarang ia jual jamu pagi dan sore hari. Berangkat pukul 07.00 dan pulang-pukul 10.00. Sore, hari berangkat pukul 16.00 kembali ke rumah jelang Magrib.
''Berangkat jualan sematangnya jamu aja. Jadi kalau pagi ngak habis, saya jualan sore,''katanya lagi.
Suwarti mengaku penjualannya mulai menurun. ''Sekarang banyak sekali pilihan minuman kesegaran yang dijual di toko atau mall. Apalagi orang-orang perempuan Batam paling takut minum kunir asem,''tutur Suwarti.
Padahal kata Suwarti, minum jamu banyak manfaatnya. Ia membuktikan sendiri. Dengan stamina dan tubuhnya yang tetap bugar dan perut yang tidak membuncit walau sudah melahirkan berkali-kali. ''Ibu saya, sekarang usianya 90 tahun. Beliau masih kuat. Di kampung masih sering ke hutan cari rumput dan kayu. Dari muda, ibu saya ini suka minum jamu. Jamunya juga yang pahit,''kata Suwarti sambil tersenyum.
Jamu memang menjadi obat bagi Suwarti. Ketika pusing dan tiba-tiba matanya kabur, Suwarti cukup menberi pilis yang di keningnya. ''Ada rasa hangat di kening. Alhamdulilah biasanya setelah itu peningnya hilang, mata juga tidak kabur lagi,'' katanya.
Suwarti mengaku sering dimintai pendapat soal obat untuk berbagai penyakit. ''Ada yang batuk  sampai keluar darah. Dia minta carikan jamu yang sesuai. Lalu saya saya belikan kunyit putih. Kalau ibu-ibu masalah kewanitaan. Yang laki-laki jamu kuat,'' kata Suwarti. ***

Dulunya Penjual Ayam
Dulu Suwarti dan Suparno, suaminya, punya peternakan ayam di Boyolali. Seribu lima ratus ekor ayam pernah dimiliki pasangan suami istri ini. Namun karena persaingan dan modal yang tidak banyak, usaha peternakan itu bangkrut.
Suwarti dan suami akhirnya memilih mengadu nasib ke Batam. Disini, Suparno menjadi tukang ojek dan Suwarti jual jamu.
Satu bulan ini, keduanya sedang mencoba peruntungan lain. Memelihara jamur tiram. Bagi keduanya, memelihara jamur tiram bukanlah hal baru. ''Di Boyolali, kampung kami, semua penduduknya memelihara jamur tiram. Hanya saja disana, harganya murah sekali. Perkilonya cuma Rp6000. Kalo di Batam sampai Rp40 ribu,''kata Suwarti.
Kini dengan modal Rp2 juta, ia memelihara jamur tiram di dalam rumahnya yang kecil. Ada sekitar 350 polyback ditata diatas rak kayu di ruang tengah yang dulunya kamar.  ''Ada sekitar 4 drum atau 350 polyback tidak jadi. Bibitnya menghitam,''timpal Suparno.
Padahal proses buatnya lama. Untuk mengukusnya saja 6 jam. "Bapak yang ngadon sampai  merebus. Kalau anak-anak bantu membungkus dalam polyback,''kata Suwarti sambil menyiramkan bibit jamur dengan air dari botol plastik sebelum berangkat jualan jamu. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar