Kamis, 11 Oktober 2012

Sekali Turun ke Laut, Bisa Dapat 15 kg Gonggong juga Kerang

Perempuan-perempuan Pencari Gonggong di Teluk Mata Ikan Nongsa

Pantai yang surut ternyata dimanfaatkan sejumlah ibu-ibu untuk mencari penghasilan tambahan. Siang itu hari Minggu (5/2), pukul 14.00 WIB, Pantai Teluk Mata Ikan, Nongsa baru saja surut. Batu-batu karang besar sudah terlihat jelas. Daratan pun makin lebar hingga 300 meter. Laut seperti terlihat hanya tinggal separuh. Kapal pesiar starcruise yang sedang berlabuh di laut Singapura pun terlihat dekat.

Tugiyati (47) yang baru saja pulang mengantarkan kue di mesjid untuk acara Maulid Nabi warga Teluk Mata Ikan, bergegas mengambil topi, sweater, sepatu bot, kaos kaki juga jirigen.

Dikenakannya kaos kaki itu hingga menutupi celana panjangnya. Kemudian ibu rumah tangga ini menggenakan sepatu bot dari karet. Ia juga memakai sweater biru muda untuk melindungi tubuhnya dari panas matahari dan angin laut. Tak lupa topi lebar terbuat dari daun kelapa untuk menghindari sengatan matahari ke wajahnya. Dengan mengenakan pakaian dua lapis dan sepatu bot, wanita asal Wonogiri ini berangkat ke laut. Dijinjingnya sebuah jirigen kosong berwarna biru. Didalam jirigen itu sebuah alat penjapit (yang biasa digunakan untuk mengambil kue) tak lupa dibawanya. Alat inilah yang akan digunakan ibu dari tiga anak ini mencari gonggong, rangak, kerang, gorap di laut surut itu.

Dari rumahnya yang hanya berjarak 100 meter, Tugiyati melewati tembok pembatas pantai dan menuruni tangga yang menuju pantai. Jirigen yang tadinya dipegang mulai ditarik dengan tali. Tugiyati pun berjalan menyusuri pantai yang surut itu. Walau sepatunya terbenam pasir laut, tak membuat langkahnya melambat. Jalannya tetap cepat. Sesekali ia menunduk. Tangannya kemudian meraih sebuah gonggong.

Ia pun berjalan lagi, tiba-tiba langkahnya melambat, Tugiyati melihat kerang. Pelan-pelan ia menunduk mendekati kerang bulu yang bagi orang awam tidak akan terlihat. Karena kerang itu tertutup pasir laut. ''Kerang itu punya mata. Kalau kena goyangan air, matanya tertutup lagi. Makanya, harus jalan pelan-pelan supaya bisa lihat mata kerang,''kata Tugiyati.

Ia kemudian mencongkel pasir dengan alat yang sudah dibawanya tadi. Sebuah kerang berukuran sedang dikeluarkan dari pasir pantai. Tugiyati mengaku, belajar dari suaminya.

Kerang itu kemudian dimasukkan ke dalam jirigen. Sambil berjalan, satu persatu gonggong dipunguti Tugiyati dari pantai yang mengenangi separuh dari sepatu botnya. ''Biasanya satu jirigen ini bisa dapat 15 kg gonggong,''cerita Tugiyati, yang sudah 6 tahun menjadi pencari gonggong.

Tiba-tiba Tugiyati berhenti, ia menunjukkan ubur-ubur yang diam tak bergerak. ''Hati-hati jangan sampai terkena, karena hewan ini bisa menyengat. Sakitnya luar biasa, badan bisa meriang kalau kena bisanya,''kata Tugiyati yang belum pernah terkena sengatan ubur-ubur.

Ubur-ubur ini justru berbahaya ketika air pasang. ''Karena bisa mengapung dan bergerak, ubur-ubur ini mirip sampah kantong plastik saja. Makanya banyak yang tidak tau. Tersadar ketika rasa sakit menjalar keseluruh tubuh,''tutur Tugiyati.

Ikan Lepu, juga perlu diwaspadai ketika mencari gonggong. Sengatannya juga membahayakan. ''Tapi biasanya kita ketemu ikan ini kalau kita lagi kempunan (dari bahasa Melayu yang artinya ingin sesuatu tapi tidak terpenuhi). Contohnya begini, ketika mau berangkat cari gonggong, kita pengen sesuatu kemudian ngak dapat. Pasti nanti saat dilaut ketemu ikan ini,''kata Tugiyati lagi.

***

Awalnya, Tugiyati mencari gonggong untuk lauk dirumah. Ia lalu ke pantai, dan mencari gonggong. Karena hasilnya banyak, Tugiyati menawarkan gonggong itu ke tetangga. Ternyata, kata Tugiyati, tetangganya banyak yang membeli. Bahkan ada yang pesan. Saya belum turun ke laut saja, sudah ada yang pesan. ''Tadi dapat 10 kg gongong langsung di beli apek-apek di depan rumah, katanya untuk menantunya yang tinggal di Singapura. Menantunya itu baru beberapa hari lalu ke sini dan makan gonggong. Katanya enak, dia minta dibelikan lagi. Makanya kemarin langsung diborong,''kata istri Marno, yang juga seorang nelayan.

Setiap kali turun ke pantai surut, Tugiyati bisa berjam-jam. ''Biasanya mulai surut sampai airnya pasang lagi. Waktunya bisa sampai 4 jam,''kata wanita yang datang ke Batam sejak tahun 1993.
Selama 4 jam di laut, Tugiyati mengaku mendapat bermacam-macam hasil laut. Semuanya dijualnya dengan harga bervariasi. Untuk gonggong segar (hidup) Tugiyati hanya jual Rp7000/kg. Sedangkan gonggong yang sudah dicongkel Rp50-60 ribu/kg. ''Dulu waktu masih jualan gonggong keliling kampung, saya masukkan ke kantong plastik. Saya timbang dengan berat 2 ons, harganya Rp10 ribu saja. Ini untuk orang-orang di kampung yang tidak punya banyak uang, tapi kepengen gonggong. Lumayan juga, banyak yang beli,''kata Tugiyati yang juga berjualan gorengan keliling kampung.

Ada juga Rangak (seperti gonggong namun lebih besar dan ada jarinya) dikenal sangat enak dagingnya, dijual Tugiyati Rp1500-2000/biji, kerang bulu Rp8000/kg dan gorap Rp7000/kg. Yang paling mahal adalah teripang. Tugiyati menjualnya seharga Rp500 ribu/kg.

Tak hanya Tugiyati, ada juga sepasang suami istri yang juga turun mencari gonggong. Salisa dan Saliman, adalah tetangga Tugiyati di kampung Teluk Mata Ikan. Keduanya hanya turun, ketika hari minggu saja. Karena Salisa bekerja sebagai cleaning service, suaminya penambang pasir. ''Dia juga dapat gonggong 5 kg, semuanya dibeli apek-apek,''kata Tugiyati.

Mencari gonggong tidak bisa dilakukan Tugiyati setiap saat. Sejak cucunya lahir tiga tahun lalu, Tugiyati punya tugas baru. ''Saya harus jaga cucu. Kalau ibunya libur, saya baru bisa nyari gonggong. Padahal lumayan juga, dari nyari gonggong ini bisa bantu-bantu suami beli beras juga sayuran. Maklumlah, suami saya juga nelayan, yang tidak tentu penghasilannya. Kalau dapat ikan banyak, lumayan hasinya. Tapi kalau sedikit, uangnya dicukup-cukupkan,''kata Tugiyati.

Karena penghasilan yang tidak tentu itulah, Tugiyati tidak bisa menyekolahkan anaknya hingga kejenjang pendidikan yang lebih tinggi. ''Hanya anak pertama saya yang tamat SMA, yang kedua tamat SD, sedangkan yang ketiga tamat SMP,''kata Tugiyati lagi.

***

Karena Hobi, Tahan Berjam-jam

Yati, perawat di salah satu klinik di perusahaan elektronik di Batam ternyata sangat suka mencari gorap. Minggu lalu (5/2) bersama 4 anaknya, ia terlihat asyik mengorek-ngorek pasir di laut Teluk Mata Ikan. ''Saya memang hobi. Bisa tahan berjam-jam. Kadang sampai air pasang lagi,''cerita Yati.

Rasa suka Yati pada Gorap, hewan laut berbentuk kerang ini diakuinya sejak masih kecil. Ia yang tinggal di Teluk Mata Ikan bersama bapak tirinya sering main ke laut. ''Padahal nyari Gorap harus dikorek-korek. Karena Gorap memang ada di dalam pasir laut. Beda dengan gonggong yang tergeletak begitu saja. Tapi itulah yang membuat asyik. Saya sudah lama ngak nyari Gorap. Ini mumpung libur hari besar, kami bisa nginap disini. Pas laut surut bisa langsung nyari Gorap,''kata Yati.

Gorap ini kata Yati, enak direbus. Selain itu, Gorap juga obat. ''Memakan Gorap bisa menyembuhkan penyakit kuning,''kata Yati lagi.

Mencari Gorap bagi Yati adalah sesuatu kesenangan. Hal yang sama juga dirasakan Erni (16). Gadis yang baru saja tamat SMP tahun lalu ini sering ke laut. Karena tidak ada kegiatan, ia lebih suka membantu kakaknya mencari gonggong untuk sekadar lauk makan sehari-hari.

Siang itu, saat matahari ada di atas ubun-ubun kepala, Erni baru selesai mencari gonggong. Kulitnya makin terlihat legam, keringatnya bercucuran. Maklum saja, Erni ke laut tak menggunakan alat pelindung apapun. Tanpa topi, hanya mengenakan kaos oblong, rok dan bersandal jepit. ''Saya sudah turun dari jam 11 siang tadi. Dapat sekantong gonggong. Lumayan untuk lauk hari ini. Jadi ngak perlu belanja lagi,''kata Erni sambil memperlihatkan sekantong plastik kecil gonggong yang masih kotor oleh pasir laut.

Erni sering mencari gonggong untuk dimasak. Kakaknyalah yang akan mengolah gonggong itu  menjadi masakan. ''Kadang sore, siang dan malam. Tergantung surutnya.

Mencari gonggong memang butuh kesabaran dan fisik yang kuat. Tugiyati mengaku setiap kali pulang mencari gonggong kaki dan pinggangnya terasa pegal. ''Kaki pegal ini karena jalan di air. Apalagi pantai yang disisir luas. Jadi sering tidak terasa kalau sudah berjalan jauh. Sedangkan pinggang yang pegal ini karena harus menunduk ketika mencari kerang juga gonggong. Kalau sudah dirumah, biasanya saya minta suami pijak-pijak pinggang juga kaki yang pegal ini,''kata Tugiyati lagi.

Bagi Tugiyati, mencari gonggong sangat membantu keuangan keluarga. Selain dapat lauk untuk masak, hasil penjualannya bisa untuk beli beras adan sayuran. ***

1 komentar:

  1. mbak, ibu tugiyati itu tinggal dimana ya ? saya membutuhkan data tentang ketersediaan gonggong bagi Kota Batam mnak. Mohon bantuannya.

    BalasHapus