Kamis, 11 Oktober 2012

Ingin Membuat Pondok Pesantren

Halimah 'Maylan Raharjo' Tusadiah, Mualaf Keturunan Tionghoa
 
Wajahnya segar, senyumnya tak lepas dari bibirnya ketika menyambut kami. Dibalut kaftan hijau tua yang makin modis dengan padanan kerudung hijau dan hitam. Siang itu di rumahnya di komplek Permata Baloi, perumahan yang banyak dihuni orang-orang keturunan Tionghoa, Halimah 'Maylan Raharjo' Tusadiah terlihat segar.

Padahal wanita keturunan Tionghoa bermarga Tan ini sedang sakit. Dua tahun lalu, di payudara sebelah kanannya terdeteksi kanker stadium 3.  Halimah yang sudah menjadi mualaf sejak menikah dengan Wisnu tahun 1998, tidak menjadi depresi. Ia bahkan merasakan makin dekat dengan Allah. ''Keputusan saya menganut agama Islam, karena saya tidak ingin tanggung-tanggung. Saya tidak mau hanya tertulis Islam di KTP. Saya juga berfikir alangkah kasihannya anak-anak kalau orangtuanya beda agama. Mereka pasti bingung mau mencontoh yang mana,'' kenang wanita yang baru saja berulangtahun ke 47 tahun.
Sejak itu, Halimah tak pernah absen membawa buku tuntunan sholat. Dimana saja, ia baca. Ibu dua putri yang kini duduk di bangku sekolah menengah pertama ini berusaha mempelajari Islam dengan sepenuh hati. Berbagai majelis taklim diikuti. Tabina (dulunya Humairah) adalah majelis taklim yang diikuti Halimah hingga sekarang. Di majelis taklim pimpinan Rekaveny Soeryo Respationo, istri wakil gubernur Kepri inilah Halimah mulai belajar mengaji. "Waktu itu saya satu-satunya yang masih belajar iqro. Saya ngak malu kok. Memang saya belum bisa baca huruf Arab,,'' kata Halimah yang saat itu sudah berumur 45 tahun.
Dengan kesungguhan hati ingin mempelajari Al Quran, pada tanggal 23 Agustus 2011 lalu, Halimah  mengkhatamkan Al Quran. "Saya juga ingin anak-anak juga pintar mengaji, makanya saya panggil guru ngaji. Sekalian juga saya belajar lagi," kata Halimah dengan suaranya yang lembut.
Siang itu, di ruang tamu rumahnya, televisi dibiarkan hidup. Channel MNC Muslim jadi tontonan Halimah. "Saya berusaha terus menambah ilmu agama. Tak hanya dari  majelis taklim, tapi juga  tontonan televisi. Apalagi sejak sakit, Halimah lebih banyak di rumah. Sesekali ia juga keluar rumah untuk ikut kegiatan majelis taklim atau ke Medan berobat. "Alhamdulilah, Allah memberi saya banyak sekali nikmat. Saya masih bisa diberi kekuatan berjalan. Saya masih bisa berobat sampai ke luar negeri. Rezeki kami juga menjadi bagus,'' tutur wanita yang sedang menyiapkan sebuah pondok pesantren untuk anak-anak tidak mampu.
Memutuskan beragama beda dengan orangtua, tidak membuat ikatan keluarga menjadi renggang. Hadiwijaya Raharjo (78), orangtua Halimah tetap mendukung. "Dari keturunan nenek ada juga yang Islam kok. Lalu anak-anak nenek ada yang menikah dengan muslim. Jadi di keluarga kami sudah biasa berbeda agama. Saya dulu kristiani. Orangtua saya budha,'' kata Halimah yang merupakan anak pertama dari 4 bersaudara.
Halimah memang terlihat berbeda dengan 3 saudaranya yang lain. Ia tidak terlalu terlihat seperti keturunan Tionghoa. Bermata besar dan logat bicaranyapun sudah seperti orang Jawa. ''Kalau lagi ngumpul di rumah papa di Yogya, pasti dibuatkan makanan muslim. Adik-adik saya yang beragama Kristen juga paham soal makanan yang boleh dihidangkan ketika saya datang,'' cerita wanita berkulit putih bersih ini.
Setelah 14 tahun mendalami Islam, Halimah mengaku  lebih paham ajaran-ajaran agama Islam dibandingkan suaminya. ''Anak-anak sering bertanya dengan saya. Alhamdulilah saya bisa menjelaskan," kata Halimah yang tidak pernah melewatkan sholat sunah.
Halimah bahkan tak mau melewatkan waktu sholat. Seperti sekarang saat sakit, ia tetap menjalankan sholat walau hanya duduk. Namun puasa tahun ini, tidak bisa dijalankan Halimah. "Saya tidak boleh drop. Harus selalu minum dan makan. Obatnya juga ngak boleh stop. Makanya tahun ini saya tak puasa lagi,'' kata Halimah.
Kondisi Halimah yang kadang-kadang lemah, sering membuat khawatir kedua putrinya. "Mereka suka protes. Katanya mami nih, sudah sakit masih ingat sholat, '' cerita Halimah sambil tersenyum.
Kekuatan doa dan zikir sangat dirasakan Halimah. Ia mengaku menemukan ketenangan. Dikala nyeri menyerang payudaranya, ia baca zikir sambil mengusap payudaranya. ''Alhamdulilah, nyerinya hilang. Saya juga seperti diberi kekuatan oleh Allah menghadapi kenyataan ini,'' kata Halimah yang saat ini menjalani terapi zikir untuk mengobati kanker payudaranya.
Kenikmatan yang dirasakan Halimah itu tak ingin dirasakan sendiri. Ia juga mengajak teman menjadi mualaf. Ia bahkan menggelar pengajian khusus mualaf di rumahnya.
Halilahpun bernazar, jika penyakitnya sembuh ia akan mengajak suami dan anak-anaknya umroh. "Karena ada saja halangannya. Tapi sewaktu saya berangkat umroh tahun lalu, saya justru diberi kemudahan,'' kata Halimah. Mungkin, kata Halimah, karena sudah ada keinginan, jadi jalannya ada saja. Ia yang waktu itu hanya membeli perlengkapan umroh, justru tak lama kemudian berangkat. Padahal waktu itu uang juga belum ada. Tapi dikasih kemudahan, akhirnya bisa berangkat,'' tutur Halimah dengan semangat. Di Mekah, Halimah pun menemukan keajaiban-keajaiban yang tak terduga. Ia yang nyaris terinjak-injak saat Tawaf bisa keluar dari kerumunan orang dengan memegang baju bagian belakang seorang pria bule. Bule itu kata Halimah, tiba-tiba muncul didepannya ketika ia sudah mulai lemas dan pucat dan menghilang ketika ia ingin mengucapkan terimakasih. ''Waktu itu saya terus berdoa didepan kabah, minta perlindungan pada Allah. Alhamdulilah saya ditolong,'' kata Halimah yang saat umroh bisa fit padahal sebelum berangkat ia lemas karea efek kanker payudaranya. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar