Kamis, 11 Oktober 2012

Satu Keluarga Jadi Petugas Mandikan Jenazah

H. Muslimin, Si Tukang Becak Pemandi Mayat Panggilan

Tak disangka memandikan jenazah menjadi pekerjaan turun temurun. Dulu orangtua dan kakak kandungnya, sekarang ia dan istri yang menggantikan.

Azan sholat Ashar terdengar dari Masjid Al Irsyad di komplek Angkatan Laut Jl. Cut Nyak Dien Tanjungpinang. Muslimin, yang baru saja tiba dirumahnya di kampung Jawa bergegas mengganti baju porter pelabuhan dengan celana panjang hitam, kaos putih oblong dan gamis putih. Sore itu, Selasa (14/2), Muslimin sudah pulang dari tempat kerjanya sebagai penarik becak dan porter di pelabuhan Sri Bayintan Tanjungpinang. Ia segera berjalan menuju masjid yang hanya berjarak 100 meter dari rumahnya.

Usai menjalankan sholat Ashar berjamaah, Muslimin yang berjanji wawancara dengan Batam Pos bertemu di Rumah Sakit Angkatan Laut. Muslimin kemudian menunjukkan kamar jenazah tempat ia sering diminta memandikan jenazah.''Saya harus siap kapan saja. Baik itu tengah malam ataupun lagi narik becak. Kalau sudah berhadapan dengan jenazah, saya harus cekatan,''kata pria yang sudah 7 tahun menjadi pemandi jenazah.

Memandikan jenazah sebenarnya sudah sangat akrab bagi Muslimin. Karena alm.H Amat Diyar, ayahnya memang berprofesi sebagai pemandi jeanzah. Demikian juga abang kandungnya menjadi pemandi mayat panggilan. Kini ia dan istri juga menjalani profesi yang sama. ''Saya juga tidak menyangka. Sebelumnya saya justru takut memandikan mayat. Tapi sejak abang kandung saya itu meninggal, saya tergerak untuk menjadi pemandi jenazah,''kata pria asal Wangen, Solo.

Muslimin kemudian berguru pada H. Muklas, yang juga memandikan jenazah abangnya itu. ''Saya ingat dulu, waktu pertama kali belajar memandikan mayat di RSUD. Mulai dari memandikan, memotong kain kafan dan mengkafani jenazah. Rata-rata belajarnya tengah malam. Karena kebetulan jenazahnya juga ada jam segitu,''cerita pria yang baru saja menunaikan ibadah haji tahun 2011 lalu.

Sejak itulah, Muslimin mulai menerima panggilan memandikan jenazah. Tak terasa 7 tahun Muslimin memandikan bermacam-macam jenazah. Mulai dari korban kecelakaan, meninggal karena sakit hingga mayat yang sudah keluar belatungnya. ''Saya hanya pernah menolak memandikan satu mayat yang sudah tiga hari tenggelam. Saya bilang tak sanggup. Karena tangannya sudah kaku dan tidak bisa dilipat lagi. Saya khawatir tangannya patah saja, kalau dipaksakan. Saya minta guru saya yang memandikan dan mengkafani,''kata pria yang rambutnya sudah dipenuhi uban.

Muslimin mengaku tak pernah merasa jijik setelah memandikan jenazah yang dipenuhi belatung dan berbau busuk. ''Saya tetap bisa makan, tapi harus istirahat minimal satu jam dulu. Kalau merokok sih ngak perlu menunggu satu jam lagi, selesai menyolatkan, langsung merokok,''kata bapak dari tiga putra ini.

Tak hanya menjadi petugas langganan di RSAL, pihak RSUD juga sesekali minta Muslimin mengurusi jenazah yang ada di rumah sakit tersebut. Bahkan Muslimin juga dikenal disekitar Kampung Jawa hingga Teluk Keriting. ''Jadi rata-rata, warga didaerah inilah yang sering memanggil saya memandikan jenazah,''kata Muslimin lagi.

Memandikan jenazah, kata Muslimin sama seperti memandikan bayi. ''Harus lemah lembut. Disiram dengan air sambil tangan mengusap dengan pelan. Kemudian disabuni. Agar tak berbau, pada siraman terakhir menggunakan air yang sudah dicampur bubuk kapur barus, air mawar dan kayu gaharu. Tapi kalau mayatnya sudah membusuk, cukup disiram tanpa diusap, karena kulitnya bisa terkelupas,''kata Muslimin lagi.

Di RSAL, Muslimin selalu dibantu dua orang temannya. Karena ia butuh bantuan ketika memandikan, memindahkan jenazah dari tempat mandi juga mengkafani. ''Saya perlu bantuan ketika memandikan jenazah. Karena tubuh bagian belakang juga harus dibersihkan. Biasanya dimiringkan ke kanan dan ke kiri oleh teman saya tadi. Selain itu saja juga butuh bantuan untuk menumbuk kapur barus, membuat air mawar dan menghaluska gaharu. Demikian juga ketika menyiapkan kain kafan,''kata pria yang tinggal di Tanjungpinang sejak tahun 1975.

Usai mengkafani, tugas Muslimin kemudian adalah menyolatkan jenazah. Di ruang jenazah RSAL itu juga Muslimin menyolatkan jenazah. Setelah itu, pihak keluarga yang membawa ke kuburan. Berbeda dengan memandikan jenazah di rumah warga. Muslimin mengaku, tugasnya bisa berlanjut hingga mengantar ke kuburan. ''Semua proses dari memandikan sampai menyolatkan bisa satu jam''kata Muslimin.

Selama ini, kata Muslimin, ia hanya memandikan jenazah beragama Islam saja. ''Memang saya pernah memandikan dua jenazah orang Tionghoa. Tapi mereka sudah mualaf. Jadi tidak ada bedanya,''kata Muslimin di depan ruang jenazah yang sudah terkunci karena tidak ada jenazah yang harus diurus.

Istri Muslimin, Dwi Haryatmi (59) ternyata juga sering diminta memandikan jenazah. Hanya bedanya, istri Muslimin khusus jenazah perempuan. Disaat tugas utamanya sebagai  juru masak RSAL selesai, istri Muslimin ini bisa dipanggil memandikan jenazah.

Memandikan jenazah bagi Muslimin bukanlah ladang bisnis. Karena itu ia tak pernah menetapkan tarif. ''Saya hanya menerima berapapun yang diberi. Saya tidak pernah mematok harga. Ini pekerjaan mencari pahala saja,''kata Muslimin.

Walau hanya bergantung dari pekerjaan sebagai tukang becak sekaligus buruh angkut barang di pelabuhan, ia bisa membiaya pendidikan tiga anaknya. Kini dua dari tiga anaknya itu sudah bekerja sebagai pegawai negeri sipil.

Bagaimana dengan rasa takut? Ternyata Muslimin tidak pernah lagi merasakan hal itu. Ia juga tidak pernah dibayangi wajah-wajah pucat jenazah. Ia bahkan tak pernah mengalami hal-hal aneh atau didatangi arwah-arwah jenazah yang pernah dimandikan. ''Setiap kali selesai mengurusi jenazah, saya hanya membersihkan tubuh dan berganti pakaian ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar