Kamis, 11 Oktober 2012

Cari Arsip sampai ke Tukang Loak

Aswandi Syahri, sejarawan di Tanjungpinang

Mencari jejak-jejak sejarah bukanlah mudah. Terkadang ketemu tak sengaja di tukang loak, tapi juga harus dicari sampai ke negeri Belanda.

Dari rumahnya di Batu Hitam Tanjungpinang, ia bergegas menuju pelabuhan Sri Bintan Pura. Untung saja, kapal feri terakhir tujuan Telaga Punggur, Batam  belum berangkat.
"Saya harus berangkat sekarang. Tadi saya ditelpon ajudan walikota. Katanya ada tamu dari Singapura, keturunan Raja Riau Lingga. Saya diminta menemani,"kata Aswandi Syahri, yang ditemui Batam Pos, Selasa (17/7)..
Alumni Fakultas Sastra Jurusan Sejarah Universitas Andalas tahun 1989 ini memang sering  diundang walikota Batam untuk sekadar berdiskusi tentang sejarah Melayu. "Pak wali paling suka bicara sejarah. Makanya sewaktu menetapkan hari jadi Batam, beliau minta saya menelusuri sejarah kota Batam," kata mantan wartawan ini.
Tak mudah menyusuri jejak sejarah Batam. Waktu itu, kata pria yang masih melajang diusia 41 tahun ini, ia harus mencari bukti hingga ke beberapa tempat. "Waktu itu saya  diantar ke sebuah tempat. Disana ada batu bata dan paralon baru. Katanya disitulah pabrik batu bata pertama di Batam. Karena masih baru, saya ngak yakin," cerita pria kelahiran Tanjungpinang ini.
Aswandi pun berangkat ke Jakarta, dengan tujuan Kantor Arsip Nasional RI. "Disana saya dapati satu bundel arsip tentang Engine Batu Bata. Dalam Arsip itulah disebutkan industri batu bata pertama di Batam milik Raja Ali Haji ada di Batuaji tahun 1898,". jelas Aswandi lagi.
Pabrik batu bata itu bernama 'Batam Brick Work'. Yang tersisa hanya patahan cerobong berukuran 1,5 m x 1,5 m. Sekarang, kata Aswandi, tempat itu sudah jadi galangan kapal. Satpam yang bekerja di galangan kapal melihat sendiri sisa-sisa bangunan pabrik sudah didorong kelaut.
"Saya lalu mengusulkan patahan cerobong itu dibawa ketengah kota. Kan bisa jadi monumen  industri pertama di Batam. Tapi sepertinya usulan itu belum direalisasikan," kata Aswandi.
Akhirnya hari jadi kota Batam ditetapkan pada tanggal 18 Desember 1829 berdasarkan  pengangkatan Raja Isa (anak dari Yang Dipertuan Muda Riau ke 4 Raja Ali Marhum Pulau Bayan) menjadi penguasa atas Nongsa, Pulau Buluh, Belakang Padang. "Inilah pemerintah pribumi pertama yang merintis tapak pemerintah pribumi yang berkelanjutan di pulau Batam," jelas Aswandi.
Arsip-arsip yang menjelaskan Temenggung Abdul Jamal juga susah didapat. Bahannya  sedikit. Aswandi pun harus ke Malaysia. Disana, ia ketemu satu naskah berjudul Hikayat Johor dan Pahang. Dari naskah ini, Aswandi dapat gambaran sejarah lain Temenggung Abdul Jamal. Juga biografi Encik Puan Bulang Raja Melayu yang menjadi tokoh utama di novel Bulang Cahaya karangan Rida K.Liamsi.
"Memang paling sulit meneliti sejarah Melayu, karena namanya sama, gelarnya juga sama. Makanya itu harus tahu silsilah dan peranannya dalam sejarah," kata Aswandi yang selalu menggunakan 2 sumber literatur dari Belanda dan lokal (melayu).
Tahun 2010 lalu, Aswandi berangkat ke Belanda mencari bahan sejarah Riau. Bersama Dr. Jan Van Der Putte,  seorang pakar sastra Melayu klasik dan Raja Ali Haji  yang tinggal di Singapura.
"Sepuluh hari di Denhaag Belanda. Hanya keluar masuk perpustakaan.  Keluar dari hotel jam 7 pagi. Pulangnya jam 9 malam," kata Aswandy.
Di perpustakaan Universitas KITL-Leiden itulah, Aswandy banyak mendapatkan bahan penelitiannya. Arsip-arsip sejarah Melayu banyak tersimpan di perpustakaan ini. Semua arsip itu tak ditemuinya di kantor arsip Nasional RI di Jakarta. "Di Belanda, sistem pengarsipannya bagus. Mudah sekali mencari yang kita butuhkan. Kertas-kertasnya bersih tak berdebu seperti di tempat kita. Kalau di Jakarta kita sering dibuat emosi. Diperpustakaan Belanda semuanya gratis, bahkan kita dikasih alat tulis juga kaca pembesar. Semuanya boleh dibawa pulang," kata Aswandi.
Untuk membuat file digital pun bisa dilakukan sendiri. Di perpustakaan Leiden Belanda, pengunjung diberi kebebasan memotret arsip. Beda dengan kantor arsip di Jakarta, harus dipotretkan petugas perpustakaan, bayar Rp200 ribu perlembar. Tapi tak bisa digunakan karena tidak bisa dibaca.
Arsip-arsip sejarah Melayu umumnya ditulis tangan dengan huruf arab gundul. Beberapa diantaranya tulisan Raja Ali Haji dalam bentuk syair. Dengan stempel asli dan baluran tinta emas. ''Walau bentuknya syair, namun isinya sama seperti reportase. Seperti syair tentang pernikahan seorang kapiten China di Tanjungpinang. Dalam syair itu digambarkan suasana pesta pernikahannya, makanan yang disajikan, dekorasinya,'' kata Aswandy sambil membaca salah satu syair bertuliskan Arab gundul.
Membaca tulisan tangan diakui Aswandi sangat sulit. Karena setiap orang berbeda goresannya. "Untung saja dulu pernah belajar arab Melayu di madrasah. Jadi ngak terlalu buta sama sekali,'' kata penulis buku Sejarah awal Melayu 1600 (Temenggung Abdul Jamal).
Agar sejarah Melayu bisa diketahui khalayak ramai, Aswandi pernah membuat pameran sejarah Riau Lingga di komplek kediaman Gubernur . "Sekarang masih ada, karena tidak boleh dibongkar, kalau ada tamu gubernur selalu diajak kesitu,'' kata Aswandi.
Arsip-arsip hasil perburuannya ke Belanda,  di pamerkan di museum arsip dan foto di jalan Temiang Tanjungpinang.
Aswandi juga bercerita ketika ia tanpa sengaja menemukan arsip lokal yang ada di tukang loak. "Waktu saya lihat ada gundukan kertas di tukang loak. Beratnya sampai 7 ton. Kata tukang loak itu kertas ini dibuang kantor Pemda. Saya lihat ternyata catatan-catatan sejarah lokal kita. File ini tidak ada di
Kantor Arsip Nasional di Jakarta. Makanya satu minggu disitu saya pilah-pilah lagi. Yang saya ambilpun hanya sebagian karena sudah banyak juga yang dipres," tutur Aswandi.
Suatu saat kata Aswandi, ia ingin sejarawan di Tanjungpinang pun bisa menjadikan ilmunya sebagai bidang usaha. "Di Jakarta dan Yogya sudah jalan. Namanya publik history. Jadi dari para sejarawan ini, muncul usaha penerbitan, buku juga tour. Guidenya ya sejarawan itu. Jadi wisatawan yang berkunjung ke suatu tempat bersejarah dapat mengetahui sejarah sesungguhnya,'' harap Aswandi.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar