Kamis, 11 Oktober 2012

Menumpang Belajar di Teras Rumah Warga

Avilla, guru sekolah di ruli Lembah Baloi Persero

Berbagai tantangan tak menyurutkan niat Avilla mencerdaskan anak-anak di ruli. Hujan deras baru saja menguyur kota Batam. Walau belum berhenti sama sekali namun sudah cukup membuat warga ruli (rumah liar) Lembah Baloi Persero kembali beraktivitas. Avilla, guru sekolah  anak-anak ruli  ini bergegas menata meja kecil dan dua bangku di teras rumah warga. Avilla, terpaksa menumpang di teras rumah warga karena tidak ada tempat lagi yang bisa digunakan untuk mengajar anak-anak.

Aliya dan Arifa yang sudah datang, tak sabaran ingin duduk di bangku kecil itu. "Hari ini hanya dua dari lima siswa yang datang. Kalo hujan begini, biasanya banjir. Mereka jarang datang," kata istri dari Safril Caniago, pemilik Yayasan Puri Ilmi, yang menaungi Paud Puri Ilmi tempat Avilla mengajar.
Sebuah buku bergambar yang diberikan Avilla kemudian menarik perhatian kedua bocah ini. Keduanya pun larut dalam keasyikan mewarnai. Sesekali mereka bertanya pada Avilla tentang warna yang bagus untuk gambar itu. "Bunda, ini warna hijau aja ya,"tanya Aliya pada Avilla yang sedang meruncingkan pensil Arifah dengan pisau.
Sudah beberapa hari ini Avilla menggunakan teras rumah pemilik kos-kosan. Lebarnya  tak sampai satu meter. Jemuran pakaian bergantungan di teras itu. Sebuah kandang anak ayam juga diletakkan tak jauh dari tempat anak-anak belajar.  Avilla mengaku tak bisa menunggu hingga dapat tempat yang layak. " Sebentar lagi anak-anak masuk SD, tidak ada waktu lagi untuk mengajari mereka,"kata Avilla di sekolahnya di Lembah Baloi Persero, Senin (1/5).
Mengajar anak-anak di ruli bagi Avilla merupakan tantangan terberat. Selain masalah tempat belajar yang belum tersedia.  Kesadaran orangtua menyekolahkan anak agak kurang. Memang ada sebagian yang peduli. "Yang ngak peduli biasanya membiarkan saja anak-anaknya bermain. Ada yang katanya ngak mampu bayar uang sekolah. Tapi alat-alat elektronik di rumahnya lengkap. Ada juga yang menyuruh anaknya berhenti sekolah karena harus bayar SPP, padahal bapaknya pake  Blackberry," tutur Avila lagi.
"Padahal disini banyak sekali anak-anak yang tidak sekolah. Bahkan ada yang sudah usia belasan tahun tapi tidak bisa baca tulis,"kata Syarif sambil menunjuk gerombolan anak-anak yang sedang bermain.
Satu tahun sudah Avilla mengajar di sekolah yang ada di ruli lembah Baloi Persero ini.  Selama setahun itu juga Paud Puri Ilmu terpaksa harus berpindah-pindah tempat. Pernah menumpang di rumah salah satu murid. "Maklum saja, karena dirumah sendiri, belajarnya jadi ngak serius. Sebentar-sebentar buka kulkas,"kata wanita yang sudah mengajar sejak tahun 1990. Hampir satu tahun anak-anak belajar di tempat parkir motor. " Karena atapnya tidak ada lagi, hujan seperti ini ngak bisa dipakai belajar, "kata sarjana ilmu pendidikan ini. Tempat parkir itu hanyalah sebidang tanah yang tak terlalu luas,  yang letaknya lebih tinggi dari rumah-rumah yang ada disekitarnya. Meja-meja dan kursi diletakkan  di atas lantai tanah. Atap ala kadarnya dibuat dari triplek. Tiang-tiang kayu dibuat sekadarnya agar tempat itu bisa berdiri. Spanduk yayasan Puri Ilmi tergantung di atas atap.
"Karena siswanya cuma 5. Yang bayar hanya 3 orang saja.  Bu avi ngak pernah terima gajian,"kata Syafril.
SPP sebesar Rp 80 ribu perbulan itu kata Safril, sudah sangat meringankan. "Di dekat sini ada sekolah Paud juga, tapi mahal sekali, Biaya masuknya saja jutaan rupiah, " kata Avilla
Makanya, kata Syafril,  banyak anak-anak yang tidak bersekolah. Dengan adanya Puri Ilmi bisa membantu pendidikan anak-anak disini. Tapi masalahnya orangtua disini banyak yang tidak mendukung anaknya sekolah. Untuk membayar SPP sebesar itu saja katanya ngak mampu.
Semoga saja, kata Avilla, tempat yang akan dijadikan sekolah di RT sebelah (RT 6 Lembah Baloi Persero) bisa segera dibangun.
"Rencananya kami akan sebarkan proposal. Semoga Indomobil yang ada disebelah Lembah Baloi Persero ini mau memberi sumbangan untuk pembangunan rumah pendidikan anak-anak di ruli ini,"kata Safril.
Tanah itu sudah di plester dan sudah ada sebagian dinding yang dibangun. "Rencananya tempat ini, pengelolaan sekolahnya diserahkan ke yayasan Puri Ilmi. Nantinya anak-anak juga bisa belajar mengaji juga belajar baca tulis,"kata Tengku, sekretaris RT 06 Lembah Baloi Persero yang ikut menunjukkan lahan sekolah dan balai pertemuan. ***

Jual Tahu untuk Biayai Hidup

Pekatnya malam belum lagi hilang. Udara dingin masih menusuk-nusuk tulang. Avilla bergegas mengambil ember untuk tempat tahu dan  tas untuk soya (air tahu). Disiapkan semuanya di atas motor. Kemudian dikenakannya  jaket juga sepatu botnya.
Padahal ia baru saja sembuh dari sakitnya. Kalau tidak dipaksakan bekerja Avilla mengaku makin merasa sakit. Berdua dengan Safril, suaminya, mereka menembus gelapnya malam dari Baloi hingga Batuaji. Dini hari seperti itu menjadi  waktu yang paling baik bagi Avilla, karena ia akan dapat jatah tahu yang baru  dan soya yang masih panas dari pabrik tahu di Batuaji. Tahu dan soya itu kemudian diantar ke rumah-rumah juga warung disekitar legenda Malaka. Karena masih harus mengajar, Avilla hanya bisa jualan saat libur.  Terkadang  ia harus berjualan lebih pagi lagi, agar jam 07.30 sudah sampai di rumah.
Saat ini Avilla tinggal di ruli Lembah Baloi Persero bersama suami dan 2 anak laki-lakinya. Sejak orderan membuat jok kursi yang dilakoni suaminya sepi, Avilla dan suami hanya mampu menyewa sebuah kamar kecil. Dua anak laki-lakinya terpaksa tidur di Masjid LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia karena kamar yang disewa hanya cukup untuk berdua saja. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar