Kamis, 11 Oktober 2012

Sering Dilempari Kotoran Manusia Juga Dimaki

Kisah Petugas Memandikan Orang Tidak Waras

Mengurus orang kurang waras dilakoni beberapa pengurus Ponpes Al Fateh. Sudah menjadi hal biasa ketika dilempari kotori manusia. Air itu terus disemprotkan ke seluruh lantai keramik di luar ruang isolasi orang tidak waras di Pesantren Al Fateh. Walau sudah dibersihkan, bau kotoran manusia masih saja tercium.

''Tadi baru saja selesai memandikan mereka. Sekarang tinggal membersihkan tempatnya saja. Tadi ada yang rambutnya dicukur, ada juga yang badannya penuh kotorannya sendiri,''kata Karisma yang lebih suka dipanggil bu Teguh, Rabu (18/1) di depan ruang isolasi, pesantren Al Fateh, Teluk Mata Ikan, Nongsa.

Tidak sedikitpun ada rasa jijik. Karisma bahkan membantu membersihkan kotoran yang ada di tubuh orang-orang kurang waras itu. ''Saya sih sudah biasa. Bahkan sampai dilempari kotoran manusia pun pernah. Kadang makanan yang kita kasihpun tidak dimakan tapi justru di kasih kotorannya sendiri,''kata wanita asal Banjar, Jawa Tengah.

Karisma memang lebih banyak mengurusi 11 orang penderita sakit jiwa parah yang tinggal di ruang isolasi. Ruang isolasi itu terletak di depan pondok pesantren Al Fateh dan berada di bagian bawah bangunan pesantren. Di ruang isolasi itu, terdapat kamar-kamar berukuran 2x3 meter dan tinggi 2 meter yang tertutup pintu pagar besi. Hampir sebagian besar, ruang-ruang itu terisi.

Penderita kelainan jiwa itu, umumnya duduk didepan pintu dengan tatapan tajam melihat siapa saja yang datang. Diruang isolasi dekat pintu masuk itu adalah tempat penderita kelainan jiwa yang sudah lebih tenang. Namun di ruang isolasi yang terletak dibagian belakang, suara-suara keras dan teriakan terus saja terdengar. ''Disinilah ruang khusus orang gila yang paling parah. Mereka sering mengamuk. Kemarin saja, ada yang bisa menjebol pintu besi itu dengan tangannya. Itu karena jinnya datang, Makanya pintu besipun bisa lepas, ''kata Karisma yang sudah 4 tahun bekerja di Ponpes Al Fateh.
Tak heran, jika 7 orang pengurus pesantren yang bertugas memandikan penderita kelainan jiwa ini pernah ditendang juga digigit. Nurhidayah (32), misalnya, ia pernah dipukul salah satu pasien perempuan. ''Tangan saya digigit, sewaktu saya mengajak turun dari dari mobil pickup yang membawa mereka ke laut. Badan saya juga pernah sampai biru-biru karena dipukul salah satu pasien. Waktu itu dia mengamuk dan tidak mau disuruh mandi di laut,''kata istri dari alm. KH.M.Sholehan, pemilik Pondok Pesantren Al Fateh ini.

Ada sekitar 67 orang santri dan santriwati yang dititipkan keluarganya karena sakit jiwa, cacat, bahkan ada yang gila. ''Setiap pagi sekitar pukul 07.00-08.00 WIB, mereka rutin mandi di dekat Nongsa Pura. Disana pantainya jernih dan dangkal. Disana kelompok laki-laki yang berjumlah 57 orang diawasi 5 orang pengawas, yang perempuan hanya 2 orang saja mengawasi 10 orang,''kata Ali, penanggungjawab untuk laki-laki penderita kelainan jiwa.

Selama mandi dilaut, mereka harus benar-benar ditunggui. Biasanya, kata Nurhidayah, para pengawas berdiri mengelilingi santri yang sedang berendam. Saat ganti baju, harus juga ditunggui didepannya. Jika tidak ditunggui, biasanya mereka tidak mau pakai baju.

Bagi Nurhidayah, merawat orang kurang waras ini adalah pengalaman pertamanya. Sejak menikah dengan pemilik ponpes Al Fateh, ia mau tak mau harus ikut mengurus pesantren ini. ''Awalnya saya juga takut dan jijik. Tapi lama kelamaan tidak lagi. Saya anggap saja ini adalah bagian dari ibadah,''kata wanita berkerudung ini.

Sama halnya dengan Karisma, wanita yang kini menjanda setelah suaminya meninggal dunia karena sakit. Ia memilih mengabdikan dirinya untuk ponpes Al Fateh. Sudah hampir empat tahun, Karisma menjadi pengurus orang-orang tidak waras yang ada di ruang isolasi.

Setiap hari usai sholat Subuh, Karisma mulai beraktivitas. Ia membuatkan minuman kopi juga teh. ''Kalau yang kurus dan lemah biasanya saya buatkan susu dan sarapan. Beberapa hari lalu, ada yang tidak bisa bangun, saya kasih susu kental manis sampai habis dua kaleng. Sekarang dia sudah bisa bangun. Dan mulai terlihat gemuk,''kata wanita yang merantau ke Batam tujuh tahun lalu.

Membuat sarapan atau minuman sengaja dilakukan Karisma walau harus menggunakan uang dari kantongnya sediri. ''Saya ngak tega saja lihat ada yang lemas. Memang mereka dapat jatah makan siang. Tapi kadang ada yang teriak-teriak minta makan lagi. Kalau ada makanan, saya kasih. Kalau tidak ada, saya diam saja,''kata ibu dari tiga anak ini.

Siang itu, Karisma baru saja pulang belanja di warung. Uang Rp 50.000 yang baru saja diberi oleh seorang pengunjung ponpes Al Fateh dibelanjakan sayur sawi, bayam,ikan asin, tempe dan tahu. Bahan makanan itu, kata Karisma, biasanya habis sehari saja. ''Kalo dimasak jadi sedikit. Makanya hanya dua kali makan saja. Apalagi yang dikasih makan banyak. Tapi biasanya saya kasih yang kelihatan lemas saja. Yang masih kuat, makan dari jatah ponpes saja,''kata Karisma yang juga bertugas mencuci pakaian penghuni kamar isolasi itu.

Kadang kata Karisma lagi, uang pemberian pengunjung, ia belikan rokok juga pembalut wanita. ''Kadang ada juga yang teriak-teriak minta rokok. Yah, kalo ada uang, saya belikan. Tapi kalau pembalut wanita, itu barang wajib. Orang-orang perempuan yang stres itu kan juga menstruasi. Makanya saya belikan pembalut,''kata Karisma yang terlihat kuat diusianya yang makin senja.

Di kamar-kamar isolasi itu, tampak beberapa wanita dengan kondisi berbeda-beda. Khusus kamar isolasi paling depan, seorang wanita berambut ikal terlihat duduk-duduk santai didalam kamarnya. Wajahnya sudah dipoles bedak, pakaiannya juga bersih. Pakaian di dalam kamarnya juga tertata rapi. Wanita ini juga bisa diajak bicara. Namun dia harus dimasukkan di dalam kamar isolasi, karena sesekali mengamuk. Wanita yang mengaku punya banyak pacar ini adalah TKI yang dideportasi dari Malaysia. Saat di buang ke Batam, ia dalam kondisi stres.

Empat kamar dari tempat itu, seorang wanita dengan suara lemah mengiba-iba minta diberi uang. Tangannya di keluarkan dari celah-celah pintu kayu. ''Kalau tangan begini artinya minta kan bu. Saya lapar nih bu, ngak pernah dikasih makan,''kata wanita yang juga baru pulang bekerja dari Malaysia.

Di kamar isolasi khusus penderita kelainan jiwa parah, tiga orang wanita di dalam satu kamar. Seorang wanita muda terbangun dan mendekat ke jeruji besi. Sambil tersenyum, ia ngoceh dalam bahasa daerah. ''Nama gadis itu, Sariani, dia stres gara-gara tidak lulus sekolah. Sepertinya dia malu,''kata Karisma.

Berhadapan dengan kamar Sariani, seorang ibu-ibu berteriak sambil menendang-nendang pintu besi. ''Ibu itu yang kemarin menjebol pintu. Dengan tangan dan kakinya, ia bisa buka pintu besi itu,''kata Karisma lagi.

Di seberang kamar itu, seorang pemuda bernyanyi sendiri. Menurut keterangan salah satu pengurus ponpes, dia dulu ustad. Tapi stres karena orangtuanya tidak setuju ia menikah dengan gadis pilihannya.

Di tempat isolasi ini, kata Karisma, tempat penderita gangguan jiwa yang sering mengamuk. Mereka suka sekali telanjang. Setiap kali diberi pakaian, dirobek-robek. Kasurpun dirobek-robek. Karena itu dari seluruh kamar isolasi, tidak ada satupun kasur. Semuanya tidur di lantai.

Siang itu, hampir semua penghuni kamar isolasi duduk di depan pintu teralisnya. Karisma yang tadi menyiram lantai, berhenti sejenak dan berjalan kearah salah satu kamar yang dijadikan dapur. Ia membawa sebungkus air soya dan jeruk. Lalu diberikan pada seorang pemuda bermata sipit yang sedari tadi duduk termenung bersandar di pintu teralis kamarnya. Pemuda asal Tanjungpinang itu mengulurkan tangannya menerima air soya itu. Sedangkan sebuah jeruk tadi di berikan pada seorang wanita di kamar lain.

Begitulah keseharian Karisma, mengurusi penderita gangguan jiwa. Jika malam hari, sebelum tidur, Karisma melipat pakaian yang sudah dicucinya tadi pagi. Di depan kamar tidurnya yang terletak di ruang tengah kamar isolasi penderita gangguan jiwa, puluhan pakaian bergantungan di tali jemuran. Bahkan di dalam kamar tidurnya, puluhan pakaian bertumpuk diatas kasur. Karisma lalu menunjukkan salah satu kamar isolasi yang tak terpakai dan dijadikan tempat untuk menyusun pakaian yang sudah dilipat.

''Saya biasa sholat tahajut. Trus tidur lagi. Subuh bangun, langsung masak. Beginilah keseharian saya. Karena saya tidak digaji, makanya saya senang sekali kalau ada yang memberi uang. Karena uang itu untuk belanja kebutuhan orang-orang disini juga. Kalau dari dapur pesantren juga dikasih, tapi ngak sering. Jadi kalau tidak dikasih, saya juga tidak minta, lebih baik saya beli sendiri saja. Tapi kalau beras pasti saya minta,''kata Karisma yang juga pintar mengurut. ***











Tidak ada komentar:

Posting Komentar