Kamis, 11 Oktober 2012

Buat Gaun Pengantin dengan Permata 1 kg

 Yetti, Mantan Penjahit di Arab Saudi


Gaun pernikahan itu nyaris selesai. Batu-batu permata seberat 1 kg juga sudah terpasang diseluruh gaun berwarna krem itu. Dipandangi gaun itu lama-lama. Pikiran Yetti pun galau. Aman kah ini, tidak melorotkah nanti saat dipakai. Sudah satu minggu ini Yetti, wanita asal Bandung yang menjadi penjahit ipar raja Arab Saudi ini stres berat. "Saya sampai BAB darah. Karena memikirkan baju itu. Saya harus bisa membuat gaun yang panjang kainnya 20 meter dengan hiasan batu permata. Gaun itu sedada dan dibagian punggungnya juga terbuka. Jadi tidak ada tali sama sekali, padahal baju itu cukup berat karena harus menahan batu permata yang beratnya 1 kg,"kata Yetti mengenang ketika bekerja pada Amabandari pemilik perusahaan jahit Masnahayati di Madinah.

Di Masnahayati inilah, Yetti menjadi sangat dikenal. "Baju-baju yang saya jahit itu melebihi baju yang dipakai Syahrini. Perempuan Arab suka pakai baju yang terbuka dibagian dada dan punggung,"kata Yetti yang pernah menjadi penjahit selama 10 tahun di Arab Saudi.
Gaun-gaun sexy itu, kata Yetti, dipakai saat pesta. Sebelum masuk gedung, perempuan-perempuan Arab ini masih menggenakan kain hitam yang menutup hingga mata. Tapi saat di dalam, kain itu dibuka. "Biasanya pembantu-pembantu mereka yang asal Indonesia itu yang  melipatkan dan menyimpan dalam kantong plastik. Kain itu harganya mahal, bisa sampai jutaan rupiah. Kalau yang murah, digantung saja,"kata Yetty yang pernah menjadi penyelenggara pesta di sana.
Karena gedungnya dipisah dengan pria, makanya perempuan-perempuan Arab berani buka-bukaan. Jadi setiap pesta, selalu ada dua gedung yang disewa.
Karena itu, perempuan Arab tidak pernah ketinggalan mode. Mereka tak kalah berani dengan orang-orang barat. Gaunnya selalu sexy,  glamour dan mahal. "Orang-orang disana juga suka berlebih-lebihan. Itu yang paling saya ngak suka. Contohnya, kalau ada tamu, tuan rumah bisa menghidangkan satu ekor kambing,"kata Yetti yang sempat berganti 4 majikan selama sepuluh tahun
di Arab.
Menjadi penjahit atau supir  kata Yetti lebih dihargai majikan. Beda dengan pembantu rumah tangga. "Saya tidak boleh cuci piring, saya disuruh nonton tv, nemani majikan lihat model-model baju. Kata dia, saya harus bisa buatkan baju seperti yang ada di tv, "kata Yetti yang selalu bisa memenuhi kemauan majikannya itu.
Kalau pembantu rumah tangga di Arab sering menerima umpatan. Penjahit atau supir tidak. "Alhamdulilah saya tidak pernah dihina atau dikatai seperti bahlul (bodoh), majenun (gila) atau homar (kuda keci). Kuda kecil itu sama seperti umpatan seekor hewan yang paling kasar di Indonesia.
Istri dari seorang arsitek di Singapura ini pernah juga tertipu. Awalnya ditawari jadi penjahit, tiba di rumah majikan barunya justru dijadikan pembantu rumah tangga. "Saya ngambek semalaman. Minta dipulangkan. Saya ngelawan. Saya bilang kalau menjadi penjahit di Indonesia kurang menjanjikan, makanya saya ke Arab. Sejak kecil sudah jahit. Saya tidak mau jadi pembantu. Karena lihat saya ngelawan, akhirnya majikan saya ini ngalah. Dia beli mesin jahit,"kata Yetti yang akhirnya tidak jadi pulang ke tanah air.
Pelanggan-pelanggan jahitnya kebanyakan guru-guru yang merupakan teman majikan. "Majikan saya guru juga. Mereka ini termasuk keluarga miskin. Makanya saya masih harus bantu cuci piring, karena pembantunya cuma satu, ya saya sendiri saja. Jadi selesai menjahit, saya bantu cuci piring,"kata Yetti.
Ongkos jahit yang mahal, membuat Yetti bertahan di Arab.
Ketika membuatkan gaun pengantin untuk anak majilkan, ia sampai diberi upah 2000 riyal. Karena gaun pengantin itu jika dijual harganya sampai 10 ribu riyal. Di Masnahayati inilah, Yetti mulai melakukan join bisnis. Dengan sistem bagi hasil fifty-fifty. "Di Arab kita tidak bisa mainkan harga. Ongkos jahit sebuah gaun 350 riyal. Biasanya konsumennya tanya lagi ke majikan. Jadi harga akan sama,"kata wanita yang sudah bisa menjahit sejak kelasa 6 SD.
Saat bekerja di Masnahayati, kota Zizan, sebelah selatan Arab Saudi. Disinilah, Yetti kebanjiran order bunga dari kain. Sisa-sisa kain dikreasikan menjadi bunga untuk padanan gaun, bando, tas juga sepatu. "Nenek disini masih suka gaya. Mereka berani pake bunga-bunga besar di kepala, sepatu juga tasnya.
Karena bunga-bunga itu kreasi Yetti dari kain sisa, majikannya membiarkan uang hasil penjualannya untuk Yetti.
Dalam seminggu, Yetti bekerja hanya 4 hari, 3 hari lainnya, Yetti libur. Majikannya yang juga pemilik usaha jahit Masnahayati ini memberi kebebasan Yetti. Ia sering diajak pesta. Selama tiga hari itu Yetti ikut pesta di Majraan (seperti peternakana dan perkebunan). "Kami bawa mobil 6, jalan beriringan. Satu mobil untuk majikan laki-laki dan perempuan, satu mobil untuk saya dan anak-anaknya juga anak belian (seorang anak negro, biasanya orangtua anak itu dulunya pernah dibeli oleh majikan saya), mobil lain untuk pembantu-pembantu, mobil lain untuk barang-barang," cerita Yetti lagi.
Karena kebebasan yang diberikan majikannya ini, membuat Yetti bisa berumroh hingga 10 kali. "Waktu itu saya belum begitu memahami makna dari berumroh. Jadi seperti sesuatu yang biasa saja," kata Yetti. **

Bekerja di Arab Saudi terpaksa dilakoni Yetti setelah usaha kue keringnya bangkrut. Kue yang tadinya laris manis di 100 toko, tidak laku sama sekali. "Ada yang ngak suka, dia nebar garam di setiap toko. Akibatnya kue kering putri saju saya itu ngak ada yang beli. Kalau dimakanpun, tenggorokan jadi gatal, makanya saya berangkat ke Arab.
Majikan pertamanya seorang istri keempat dari pemilik dealer mobil. "Saya jadi penjahit pribadi istrinya itu. Saya digaji 800 riyal," kata Yetti.
Saat itu, ia sudah janda dengan tiga orang anak. Yetti mengaku terpaksa dinikahkan muda. Ia yang sering jadi korban kekerasan dalam rumah tangga, memilih berpisah dengan suaminya yang suka memukul.
Karena harus menghidupi anak-anaknya itu, Yetti mencoba semua hal, dari jualan kue kering hingga menjadi penjahit. "Sempat menikah lagi, namun suaminya meninggal karena sakit. Yetti tak patah arang. Ia pun berjualan di kampus ITB Bandung. Kantinnya berkembang dan besar.
Di kampus ini juga akhirnya Yetti ketemu suaminya yang sekarang. Seorang mahasiswa yang umurnya 27 tahun lebih muda. Pernikahannya ditentang, anak dan keluarga besarnya.  Satu tahun menikah, tinggal di rumah sendirian di Bandung. Suami kerja di Singapura. "Kaya tapi serasa miskin, rumah besar tapi sepi. Karena dikucilkan. Saya ngak tahan mau ikut suami aja. Tapi kata suami sabar ya. Sampai dapat rumah,"kenang Yetti dengan suara bergetar.
Tahun 2002, Yetti akhirnya diboyong suaminya di Singapura. Di negeri Singa ini, pakaian yang dijahitnya sendiri ternyata diminati. "ongkos jahitnya 50 dolar singapura.
Tunik-tunik panjang jadi baju kesukaan disana. Ibu-ibu keturunan Melayu Singapura jadi langganan Yetti.
"Satu hari saya buat satu baju. Pekerjaan rumah juga saya kerjakan. Sambil menunggu suami pulang jam 11 malam, saya selesaikan jahitan, "kata Yetti yang pernah menetap di Singapura selama dua tahun.
Menjahit memang menjadi kesukaan  Yetti sejak kelas 6. Agar bisa menjahit, Yetti kecil sembunyi dibalik lemari. "Saya ambil handuk juga sprei punya mamak yang dijemur. Lalu saya jahit dengan tangan. Saat bajunya selesai saya tunjukkan ke mamak. Mamak tidak marah, dia malah memasukkan saya ke kursus jahit,"cerita Yetti yang kini sudah berusia 62 tahun.
Yetti mengaku mengembangkan keahlian jahitnya dengan cara sederhana. "Adik saya pernah diberi baju yang enak dipakai oleh kenalannya. Baju pemberian orang barat itu saya dedel (buka jahitannya). Lalu saya pelajari bentuknya, "kata Yetti yang ditemui di rumahnya di Puri Legenda blok A16 no 1, Kamis (7/6).
Hasilnya, jahitan-jahitan yang dibuat Yetti dikenal enak dipakai. Usia 14 tahun Yetti sudah terima jahitan. "Jahitan saya dikenal rapi. Kalau dipakai tidak ada kerutan di pundak maupun lengan. Perut buncit pun tidak terlihat,"kata Yetti sambil menunjukkan beberapa baju kreasinya.
Baju tunik itu bermodel  sederhana namun tetap terlihat elegan. Ketika pindah ke Batam, Yetti sudah mendesain rumahnya menjadi butik. Namun batal, karena ia kesulitan mencari penjahit yang seide. Selain itu untuk buat butik butuh modal besar. "Saya takut ngak ada yang meneruskan. Umur saya makin tua. Anak-anak juga ngak ada yang bisa menjahit. Saya ingin juga membagi ilmu jahit ini. Ada yang ingin belajar, saya siap menurunkan ilmu saya ini,"kata Yetti.
Tak ingin kesepian dirumah, karena suami bekerja di Singapura, Yetti memutuskan bisnis kuliner. Sebulan ini Yetti merombak ruangan yang tadinya untuk butik menjadi warung tenda. Ia berjualan kupat tahu khas Bandung, lupis, nasi tim ayam juga makaroni bakar. Kini rumahnya selalu ramai oleh pembeli juga karyawannya. "Saya ngak kepengen rumah seperti kuburan. Saya kepengen lebih kenal dengan tetangga. Makanya saya pilih jualan sarapan saja. Dulu saya lebih sering di dalam rumah. Jadi dengan tetangga juga ngak terlalu dekat, " kata Yetti yang sudah menetap di Batam selama delapan tahun.
Karena tujuan jualan agar tak kesepian, Yetti mengaku tidak terlalu ngoyoh (memaksakan diri) harus dapat untung banyak. "Kadang sehari dapat 200 ribu, kadang bisa 500 ribu. Suami saya sampai bilang kalau ngak ada uang untuk gaji karyawan, pakai uang gajinya saja,"kata Yetti yang malam itu sedang membuat kue lupis. ***

1 komentar:

  1. ibu yeti dimana sekarang, saya juga di batam, boleh dong saya diajari jahit,

    BalasHapus