Kamis, 11 Oktober 2012

Geliat Penari-penari Pria

Harus kreatif Menggambar Wajah  Sendiri

Dasar bedak itu sudah mengubah wajah mereka menjadi lebih cerah. Apalagi ditambah sapuan  blouse on warna coklat di pipi makin membuat wajah ibnu, Indra, Yogi juga Ahmadi berwarna. Karena harus  membawakan tari Dayak, Yogi Agnan, siswa SMU 3 kelas 2 ini  menambahkan lukisan menyerupai ranting-ranting pohon bercabang pada wajah, tangan juga kakinya. Setelah selesai menggambar tubuhnya sendiri, Yogi mendatangi Ibnu Reva Prasetyo, honorer bagian Tata Usaha SMP 20  dan membantu melukis kaki temannya itu.

Ditempat lain Ahmadi, mengoleskan lipstik berwartna merah dan membuat gambar bibir yang lebar. Ahmadi, lajang yang bekerja di salah satu media terbesar di Batam ini akan tampil menari Dongklak. Jika dilihat hasil riasan yang dibuat Ahmadi sama seperti Semar dan Gareng, tokoh wayang orang yang dulu pernah tayang di televisi.
"Dandan untuk tokoh berkarakter seperti tari Dongklak memang harus kreatif. Biasanya diantara kami ada yang ngasih ide," kata Ahmadi, pria kelahiran Sulawesi ini.
Dandan, bagi Ibnu, Indra dan Yogi menjadi hal biasa saja sejak menjadi penari. Tidak ada lagi rasa canggung ketika harus memoles wajah dengan peralatan makeup milik wanita ini. Tangan mereka menjadi sangat lentur ketika memegang spon bedak, kuas bloush on, lipstik, lipglos juga pensil alis.
Menari memang membuat anak asuh Wahyuji Andayani, pemilik Sanggar Tari Tradisional Duta Santarina ini menjadi serba bisa. Kelenturan tubuh saat menari tak lagi diragukan, dandanpun tak perlu di bantu, satu hal lagi yaitu mereka sangat mandiri ketika mengenakan kostum tari. Memasang kain panjang, mengenakan hiasan di kepala, semuanya harus bisa dilakukan sendiri.
Menari memang menjadi mudah bagi Indra Pramono (21) dan Ibnu Reva Prasetyo (18), karena keduanya memili garis keturunan seniman. "Ibu saya sinden di Rembang dan juga penari jaipongan. Kata ibu, saya menjadi  satu-satunya anak  yang menurunkan bakat menarinya. Dan ibu saya juga heran kenapa yang menurunkan bakatnya justru anak laki-lakinya,"kata  Indra mengulang omongan ibundanya Siti Aminah.
Bagaimana dengan Ibnu? Ternyata kedua orangtuanya adalah penari. Ibunya Siti Masruroh adalah penari Melayu di Bengkalis. Dan bapaknya, Harjoko seorang penari reog. "Yang ikut menyenangi seni tari saya dan adik bungsu yang sekarang masih kelas 6 SD di Pekanbaru,"kata Ibnu yang sudah menjadi penari sejak SD.
Tak heran jika Ibnu dan Indra sangat didukung keluarganya. Mereka tidak pernah melarang anak laki-lakinya jadi penari. Bahkan Ibnu selalu mendapat dukungan dari bibinya yang ada di Batam. "Saya jadi tidak merasa sendiri, walau orangtua jauh di Pekanbaru, bibi selalu lihat kalau saya tampil. Kebetulan bibi juga guru kesenian di TK, yang suka dengan tari-tarian,"cerita Ibnu di sanggar Duta Santarina, Rabu (16/5).
Orangtua Indra justru paling sering mengkritik anaknya. "Ibu suka bilang kalau jempol saya kurang naik lah. Pokoknya ada saja kritikan. Maklum penari juga,"kata Indra lagi.
Walau orangtua Yogi tak seperti Ibnu dan Indra, namun Yogi tak pernah terima larangan menari. Ibunya, Nanik Suryani, yang seorang guru mengaji, justru makin senang karena putranya sudah bisa mencari penghasilan sendiri. "Awalnya untuk mengisi liburan sekolah. Saya ke sanggar tari ini bersama teman. Pas tiga hari bergabung dan latihan, saya langsung dapat job tari jaranan,"kata remaja berbadan tinggi dan tegap ini.
Indra juga mengaku tak sengaja bergabung di sanggar yang ada di ruko Hang Kesturi, Legenda Malaka ini. "Awalnya penari-penari pimpinan bunda Ayu ini tampil di acara ulangtahun ditempat kerja  saya di PT Japan Servo, Mukakuning. Sewaktu lihat mereka, saya kok kepengen menari juga. Akhirnya saya datang ke sanggar.  Seharian di sanggar saya hanya lihat mereka latihan,"kata Indra yang akhirnya bergabung di sanggar enam bulan lalu.
Tak butuh waktu lama, Indrapun mulai tampil di depan umum sejak hari ke tiga latihan. Tarian pertama Indra di depan umum adalah Silat Pasambahan Padang. Ibnu juga tak butuh waktu lama untuk latihan, malam harinya ia masih berlatih, besok pagi sudah harus tampil di Harmoni One Hotel. Tarian pertamanya, Persembahan Melayu. Ia membawa bunga Manggar.
Karena masih bekerja dan sekolah, Ibnu, Indra, Yogi dan Ahmadi hanya bisa tampil pada waktu-waktu tertentu saja.
"Saya biasanya terima job hari Sabtu dan Minggu saja. Karena dari Senin sampai Jumat saya masih kerja. Menari bagi saya adalah hiburan. Saya senang aja, walau nanti gaji yang saya terima di pete tak ada tambahan overtime,"kata Indra yang sudah bekerja di perusahaan elektronik 1,5 tahun lalu.
Ibnu justru punya banyak waktu terima job tari. Setiap harinya Ibnu bekerja mulai pukul 08.00-14.00 WIB. "Kalau ada menari pagi, biasanya saya minta izin. Tapi kalau tidak dikasih izin, ya saya tidak ikut menari,"kata remaja yang pernah menjadi pramuniaga di Matahari dan mengajar eskul di sekolah Permata Harapan.
Yogi yang masih berstatus pelajar ini tidak sefleksibel teman-temannya. Ia yang lebih senior dibanding Ibnu dan Indra tak bisa selalu tampil. "Kalau lagi ujian atau tampilnya pagi hari saya ngak ikut.  Tapi kalau acaranya besar, biasanya saya akan ikut,"kata Yogi yang sudah 2 tahun menjadi penari di sanggar Duta Santarina.
Ahmadi juga melakukan hal yang sama dengan Ibnu dan Indra. Ia hanya menari saat waktu luang saja. Kalau harus menari keluar kota, biasanya redaktur halaman Xpresi  Batam Pos ini memilih cuti. "Kalau jobnya malam dan pas hari kerja, saya selesaikan pekerjaan dulu. Dari kantor saya sudah memakai baju tari. Riasannya di tempat acara,"kata pria bertubuh mungil ini.
Dengan menjadi penari, mereka mengaku merasakan jalan-jalan gratis. Ibnu sudah menginjakkan kakinya di negara Malaysia dan Singapura. Indra yang asal Rembang, jadi tahu Guntung, karena ia berkesempatan menari di kota itu. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar