Kamis, 11 Oktober 2012

Buat Pulau untuk Anak dan Istri


Di atas boat yang melaju kencang, mata Suhana (29) tak mau berkedip, dinikmatinya pemandangan indah yang ada di depan matanya. Ia mengaku tak pernah bosan melihat dari dekat pulau-pulau kecil berwarna hijau dengan latar belakang gedung-gedung pencakar langit Singapura yang membentang dari barat hingga timur. 

Aktivis dari Muhammadiyah Malaysia ini, ingin selalu melihat pemandangan indah  itu. Apa daya, kesempatan itu tak selalu ada. Tapi kali ini, ia bisa menikmatinya lagi.

Pulau Semakau ini pernah dikunjunginya enam bulan lalu. Pulau yang berhadapan langsung dengan Singapura ini dihuni keluarga besar pak Apon. Merekalah yang membuat pulau Semakau setelah tergusur dari Pulau Nirup.

Kehangatan hubungan langsung terasa ketika Suhana tiba di pelantar rumah milik Apon (72), pria pemilik pulau itu. Pelukan sukacita mewarnai pertemuan Suhana dan Hasnah (69) istri Pak Apon. ''Lame tak jumpe. Rindu rasanye?,''kata Suhana, di Minggu sore itu (23/10). Anak-anak Hasnah juga ikut berangkulan, mulai dari anak keduanya hingga anak paling bungsu, Zainan (46), Majenah (40), Marinah (38) juga Suzana (34).

Dari rumah panggungnya itu, Hasnah yang mengenakan baju melayu dan rambutnya sudah memutih semua itupun mengajak kami ke tengah pulau. ''Dulu disini hanya ada pohon asam saja. Kami timbun pakai pasir laut supaya jadi daratan,''kata wanita yang memiliki 5 anak perempuan ini.

Ingatan Hasnah pun kembali ketika 20 tahun lalu, saat seorang pengusaha dari Batam datang ke Pulau Nirup. Ia yang sudah tinggal bertahun-tahun di pulau itu harus pergi bersama 14 kepala keluarga lainnya. ''Pulau itu di beli orang Brunei, untuk dibuat resort,''kata Hasnah lagi.

Saat itu juga, kami berpencar, kata Hasnah lagi. Ada yang pergi ke pulau Sarang, pulau Pemping, pulau Kasu, pulau Mongkol, pulau Mecan juga ada yang memilih Belakang Padang. ''Mamak tak mau kayak mereka. Kata mamak,kalau kita tinggal di pulau lain, pasti digusur lagi. Lebih baik kita buat tempat tinggal baru saja,''timpal Suzana (34), anak bungsu Hasnah.

Dengan uang ganti rugi Rp1juta dari pengusaha itu, Apon bersama istri juga lima anak gadisnya serta satu orang menantu mulai menimbun sebuah daratan kecil yang letaknya tak jauh dari pulau Nirup. ''Saya angkat pasir juga bawa bibit pohon kelapa dari pulau Nirup,''kata Suzana yang saat itu masih berumur 14 tahun.

Selama dua minggu ditimbun, jadilah pulau baru yang luasnya 2 hektar yang kemudian dinamai Pulau Semakau. ''Saya tak tau ingin saja kasih nama itu,''kata Hasnah. Pemberian nama itu bisa jadi karena tepat didepan pulau itu, terdapat juga pulau Semakau milik Singapura. Hanya saja bedanya pulau Semakau di Singapura di timbun  dengan bekas debu bakaran sampah puluhan ribu ton, agar tidak tenggelam. Sedangkan pulau Semakau yang di huni pak Apon dan anak beranak ini hanya di pagari batu miring dan di timbun dengan pasir yang ada disekitar pulau itu.

''Batu miring itupun baru ada sekitar lima tahun ini. Itupun baru mengelilingi setengah dari pulau. Dibantu lurah Kasu. Dia kasih Rp5juta dulu. Nanti kalau sudah habis dibantu lagi. Tapi sampai satu tahun ini belum juga ada bantuan lagi, kata Somad, menantu dari anak kedua Hasnah yang bernama Zairinah.

''Dulu sering cemas kena ombak besar, kalau sekarang tak terlalu lagi, ''kata Majenah, anak ketiga Hasnah. Rumah mamak, kata wanita yang memiliki satu putra ini, sudah sering hanyut. Yang paling terakhir, kejadian tahun tahun 2000, bapak matanya sudah tak bisa lihat lagi karena katarak, tiba-tiba jam 12 malam, ombak besar masuk kedalam rumah, dinding hanyut, barang-barang juga ikut terbawa air laut, yang tinggal hanya lantai saja. Mamak cepat-cepat bawa bapak ke luar rumah. Dulu rumah mamak besar, sekarang ini tinggal setengahnya saja. Karena terlalu sering rusak kena ombak.

Somad juga mengaku rumahnya pernah terkena ombak sebelum ada batu miring itu. Tiga dinding rumahnya hancur. Untung saja empat anaknya selamat. ''Waktu itu siang hari, kami semua terjaga. tidak ada yang sedang tidur,''kata pria dua anaknya hanya mampu disekolahkan hingga SD dan seorang lagi tamat SMP.

Pulau Semakau yang masuk di kelurahan Kasu kecamatan Belakang Padang Kota Batam ini memang hanya didiami keluarga pak Apon. Empat rumah panggung terbuat dari papan yang mengelilingi pulau itu adalah rumah anak-anak pak Apon. Sedangkan pak Apon juga memiliki rumah sendiri. Hanya satu anak pak Apon yang tidak tinggal di Semakau melainkan di pulau Mongkol.

Dari pulau ini terlihat jelas Pulau Sekeng atau Pulau Semakau Singapura. '' Indah sekali pemandangan dari pulau Semakau pak Apon ini,''kata Imbalo, pemilik Yayasan Hangtuah di Batam yang menjadi pendamping rombongan. Apalagi dua pulau ini bernama sama tetapi berlainan negara dan hanya di batasi selat. Bedanya  Semakau di Singapura menjadi salah satu tujuan wisata yang menjanjikan. Tak demikian dengan Semakau pak Apon.

Di pulau milik pak Apon ini, sudah berdiri sebuah mushola yang diberi nama At Taqwa. Seluruh biaya pendirian mushola berasal dari Muhammadiyah Internasional bekerja sama dengan yayasan AMCF (Asia Muslim Charity Foundation). ''Kami bantu mencarikan tempatnya. Biasanya pulau-pulau terpencil yang didiami oleh warga beragama Islam. Selain di pulau Semakau ada juga di puluhan pulau-pulau lain yang tersebar di Batam. Kira-kira sudah 20 mushola yang terbangun,''kata Imbalo yang rajin berkunjung ke daerah-daerah tersebut.

Bangunan mushola itu sudah dibuat permanen, luasnya 30m2 dan berdiri di atas tanah yang agak tinggi, berbeda dengan lima rumah pak Apon yang dibuat dari papan dan masih berada di atas laut. Namun rumah-rumah yang dibuat pak Apon, pria asal Jawa ini, lebih luas. Rumah-rumah yang ada di pulau Semakau itu memang tak memungkinkan dibuat diatas tanah. Karena luas tanah timbunan itu tak mencukupi. ***

Jauh untuk Sekolah
Melati (16), cucu pak Apon dari Marinah, anak ketiganya ini hanya bisa di rumah membantu mamaknya mengerjakan pekerjaan rumah. Sejak tamat SD tiga tahun lalu, Melati tak melanjutkan sekolah lagi. ''Saya tak sanggup biayai sekolahnya. Karena harus ke pulau Kasu untuk melanjutkan ke SMP. Biaya transportnya Rp40/hari. Saya tak sanggup. Makanya rata-rata cucu pak Apon hanya tamat SD. Hanya satu anak saya yang nomor dua, Siti Zurina (18) yang tamat SMP,''kata Somad yang bisa berpenghasilan Rp400 ribu/hari dari mencari ikan.

''Saya kasihan saja dengan mamak juga bapak. Kalau waktu SD, kami bisa tinggal di rumah Mak Zainan (47), dia kakaknya mamak yang tinggal di Mongkol. Memang kami tinggal disana, hari Minggu saja baru balek ke Pulau Semakau. Kadang-kadang mamak yang tengok kami,''kata Melati yang ditemani Siti Zurina, kakaknya.

Kalau ke pulau Kasu memang tak lama, kata Melati, hanya 20 menit saja. Bisa bawa boat sendiri. Yang mahal hanya bahan bakarnya.

Beberapa cucu laki-laki pak Apon kini menjadi nelayan membantu mencari ikan orangtuanya. Hanya satu cucu laki-laki pak Apon yang bekerja di Batam. Dia anak satu-satunya Majenah. Anak Majenah sebenarnya dua orang, namun yang pertama meninggal. ''Waktu itu saya harus dibawa ke Batam. Karena bidan yang biasa membantu kelahiran tak sanggup. Karena terlalu lama dijalan, bayi saya tak bisa diselamatkan lagi. Maklum saja, perjalanan dari sini ke Batam bisa satu jam pake boat punya sendiri,''kenang Majenah. (agn)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar