Rekaveny Soerya Respationo, ketua LKKS Kepri
Meningkatnya jumlah penderita cacat di Kepri membuat Rekaveny bersama
LKKS perlu menggali ilmu hingga ke India demi memandirikan anak-anak
cacat.
Convention Hall Jaypee Palace Hotel, Agra India mendadak riuh. Ketika
suara Sitar (alat musik tradisional India) terdengar seiiring dengan
kemunculan anak-anak India dari balik panggung. Mereka kemudian
membentuk formasi membawakan tarian Nataraja, tarian yang menggambarkan
Dewa Siwa. Satu orang penari berperan sebagai Siwa, sedangkan 4 anak
lainnya menggambarkan pancaran tenaga-tenaga prima dari Siwa. Mereka
berbaris kebelakang. Dari depan hanya terlihat tangan-tangannya saja.
Seolah-olah tangan itu dimiliki penari paling depan. Tarian Nataraja ini
diakhiri dengan formasi piramida. Seorang gadis tanpa tangan naik
hingga ke puncak. Ia berdiri diatas punggung salah satu penari.
Sebelumnya formasi yang sama dibuat oleh beberapa orang penari berkursi
roda. Pada malam gala dinner itu, anak-anak dengan berbagai macam
kecacatan menjadi bintang di kongres Dunia ke 1 RBM (Rehabilitasi
Berbasis Masyarakat). di Agra, India (28/11). Mereka yang berjumlah
sekitar dua puluhan anak menampilkan 7 tarian India. Selain tari
Nataraja, remaja-remaja dengan cacat kaki, tunawicara, tuna runggu, juga
down syndrom menampilkan sendratari yang berkisah peperangan
Baratayuda.
Semua hadirin yang berasal dari 86 negara itu serempak berdiri memberi
applause. Termasuk Rekaveny, ketua LKKS (Lembaga Koordinasi
Kesejahteraan Sosial) Kepri yang datang mewakili Indonesia untuk
provinsi Kepri.
''Lihat orang-orang cacat bisa mandiri seperti itu luar biasa. Mereka
yang mempunyai kekurangan mampu tampil memukau sama dengan orang
normal. Semuanya semangat luar biasa. Tidak menunjukkan bahwa mereka itu
cacat, ''kata istri wakil Gubernur Kepri ini.
Rekaveny tak sendiri, ia datang bersama 4 orang wakil YPAB (Yayasan
Pembinaan Asuhan Bunda) yang langsung dipimpin Sri Soedarsono, 3 orang
LKKS Kepri, juga 6 orang mewakili LKKS Lingga yang dipimpin langsung
Rosemawatie, Daria, istri Bupati Lingga.
Kementrian Sosial Jakarta juga mengirim utusannya, LSM Jakarta, Dadun
dari Badan Penilitian Disabilitas UI, Sunarman, ketua CBR Solo, dr
Agusman dari RS Hermina Semarang, Weni dari Perkin's Bandung yang datang
sebagai speaker.
Rekaveny mengaku, dalam kongres dunia pertama CBR (Community Based
Rehabilitation) ini ia benar-benar terharu melihat kepedulian antar
sesama penyandang cacat. ''Ketika ke toilet, mereka saling bantu. Yang
matanya tidak bisa melihat dituntun yang matanya normal. Padahal yang
matanya normal tadi pakai kursi roda. Mereka. Itu berbeda negara loh.
Yang satu dari Zimbabwe, yang satu lagi dari Solo. Kepedulian ternyata
tidak membedakan asal negara,''kata Rekaveny.
Pembicaranya, kata Rekaveny juga ada yang cacat. Seperti ketua CBR Solo
yang kakinya cacat. Ada juga pembicara lain yang kepalanya besar.
Kongres yang disponsori WHO (World Health Organization) ini menjadi
ajang tukar fikiran bagi pemerhati masalah sosial di dunia. ''Saya
datang juga untuk cari ide. Melihat yang sudah dilakukan teman-teman
dari negara lain. Contohnya India saja, anak-anak cacat bisa dilatih
menari. Seperti yang tampil di malam gala dinner itu, mereka dilatih
selama 12 tahun. Lalu toko-toko sembako di India juga dilayani
penderita cacat. Mereka cukup sigap. Walau matanya gak melihat,''kata
Veny.
Sebenarnya, kata Rekaveny, mempekerjakan penderita cacat lebih
menguntungkan. Mereka lebih betah bekerja. Contohnya, seorang cacat
kakinya, ia bekerja sebagai tenaga administrasi, ia bisa berlama-lama
duduk mengerjakan tugas. Keadaaan kaki yang tak sempurna itu membuat
mereka itu tak terlalu banyak bergerak. Pekerjaan menjadi lebih cepat
diselesaikan dan hasilnya lebih baik, karena dilakukan dengan
konsentrasi.
''Pada kongres itu badan dunia WHO juga menyerukan agar pemerintah
maupun perusahaan untuk menerima penderita cacat (disabilitas) untuk
bekerja. Mereka juga bisa kerja seperti orang normal.
Saat ini dari data badan dunia ESCAP (Economic and Social Commission for
Asia and the Pacific) jumlah penderita disabilitas mencapai 650 juta
di Asia Pasifik.
Di Indonesia, menurut riset kesehatan dasar Departemen Kesehatan,
disinyalir penderita disabilitas meningkat akibat kecelakaan (kerja,
lalu lintas, kebakaran dll) dan bayi lahir dengan berat badan rendah.
Jumlahnya mencapai 14,42 persen dari total jumlah penduduk Indonesia.
Dr. Ferial Hadipoetro, yang ikut dalam kongres dan mewakili pusat studi
kecacatan Indonesia mengakui bahwa jumlah penderita cacat makin banyak
di Indonesia. Ia juga menyebutkan jumlah penderita cacat di Kepri yang
mencapai 31,8 persen.
''Saat ini baru Yayasan Pembinaan Asuhan Bunda punya bu Dar (Sri
Soedarsono) yang menanggani anak-anak cacat. Melalui sekolah luar biasa.
(SLB) ini, anak-anak dengan berbagai kecacatan bisa ditangani.''kata
Rekaveny di ruang kerjanya di Komisi II DPRD Batam.
Sudah selayaknya pemerintah daerah punya sarana untuk memandirikan
anak-anak cacat itu. ''Upaya yang dilakukan adalah melakukan pembinaan
pada keluarganya terlebih dahulu,''kata Rekaveny lagi.
Sebelumnya, kata Rekaveny, LKKS sudah menyelenggarakan klinik low vision
untuk pemeriksaan mata anak-anak sekolah dasar kurang mampu dan
anak-anak panti asuhan. ''Klinik itu ada di kantor Dinsos Tanjungpinang.
Disana kita melatih 50 guru SD untuk belajar memeriksa mata.
Selanjutnya jika ada anak-anak tersebut mengalami masalah mata, maka
akan dirujuk ke optik. LKKS yang akan membelikan kacamata
tersebut,''kata Rekaveny lagi.
Di panti asuhan Ceruk Jeruk, panti asuhan Muhamadiyah dan panti asuhan
Miftahul Ulum kata Rekaveny, ditemukan 6 anak yang bermasalah dengan
matanya. ''Ada yang minus 6 dan silinder 3,3. Sewaktu dapat kacamata,
anak itu menangis karena sudah lama ingin memiliki kacamata itu,''kata
Rekaveny yang ikut terharu melihat peristiwa itu.
Kegiatan ini kata Rekaveny, adalah hasil dari keikutsertaan LKKS pada
Asia Pacific CBR Convention di Kuala Lumpur, Malaysia 13-15 November
2010 lalu. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar