Sri Rejeki Chasanah Soedarsono
Usia sudah 74 tahun. Tapi semangat 24 tahun. Itulah Sri Soedarsono, adik kandung, BJ Habibie, Presiden RI ke 3.
Lorong-lorong
di lantai dua Rumah Sakit Budi Kemuliaan, Pelita, Batam sepi. Tak ada
satupun lalu lalang pegawai RSBK. Tidak juga terlihat satupun aktivitas
di dalam ruangan-ruangan yang ada di lantai dua itu. Hanya satu ruangan
di ujung lorong yang terdengar suara orang bercakap-cakap. Hampir satu
jam lebih mereka berbincang. Belum lagi mereka selesai berbicara, dua
orang tamu masuk. Seketika suara kegembiraan menyambut dua orang itu
terdengar dari celah pintu yang terbuka sedikit. ''Siang bu Dar,''kata
tamu itu menyapa seorang wanita yang duduk di belakang meja kerjanya.
Wanita
berbaju ungu itupun menyilahkan dua tamunya duduk di kursi yang
didepannya terdapat meja panjang. Sambil ngobrol, sesekali pegawai RSBK
masuk minta tandatangan.
''Maaf siang ini saya ada rapat jam 3. Kita
ngobrolnya dibawah saja ya. Sambil kaki saya diterapi,''ajak wanita
bernama lengkap Sri Rejeki Chasanah Soedarsono Habibie, Selasa lalu.
Sejak
suaminya, Soedarsono Darmo Suwito meninggal, Sri melakukan aktivitas
sendiri saja. ''Di rumah biasanya saya senang di depan komputer.
Mengetik proposal. Sambil mendengarkan TV. Jadi kalau ada yang menarik,
saya hanya melihat sebentar,''kata adik kandung BJ Habibie, mantan
Presiden RI.
Besok, kata Sri, ia akan ke Jakarta dan Bandung. Tapi sebelum berangkat, ia diminta membuka peresmian Bank.
Di
Jakarta dan Bandung, Sri hendak melihat beberapa yayasannya. ''Ada
sekitar 2500 orang buta yang saya urusin, ada juga penderita ginjal.
Kalau yang akan saya kerjakan besok, yaitu melatih anak jalanan di
Batam. Jadi anak dan orangtuanya kita didik, dan ada evalusinya.
Tujuannya supaya anak-anak kembali sekolah, orangtuanya punya usaha
sendiri. Jadi tidak lagi kembali ke jalanan,''kata Sri yang rutin
berkeliling pulau-pulau di Batam membagikan sembako setiap kali bulan
Ramadan tiba.
Sri pun bercerita mengapa ia begitu senang berkecimpung
di bidang sosial. Ia mengaku terinspirasi RA.Tuti Marini, ibu
kandungnya. ''Ibu saya itu suka sekali menolong orang. Makanya anak
angkatnya banyak,''kata Sri anak keenam dari delapan bersaudara.
Ibu,
kata Sri, selalu mengingatkan dirinya bahwa perempuan itu harus serba
bisa. ''Dulu saya menyusui anak-anak, juga mengantar sekolah. Mengantar
makanan untuk suami, walau lagi hamil besar. Setelah anak-anak besar,
saya mulai ikutan organisasi. Dulu waktu kecil saya juga pernah bantu
Palang Merah Indonesia,'' kenang Sri yang merupakan pemilik RSBK,
yayasan ginjal, yayasan yang mengurusi penderita HIV AIDS, anak
jalanan, sekolah anak-anak berkebutuhan khusus dan cacat.
Sri juga
teringat pesan ibunya agar tidak bertengkar dengan saudara karena harta.
''Ayah kami Alwi Abdul Jalil Habibie, seorang Inspektur Jenderal
Pertanian (Dirjen). Beliau sudah lama meninggal karena sakit jantung.
Waktu ayah meninggal, adik bungsu saya masih berumur 7 bulan di
kandungan ibu. Karena kami ditinggal masih kecil-kecil, makanya kami
saling menjaga dan rukun sekali. Kalau ada yang keluar kota atau keluar
negeri, pasti oleh-olehnya sama. Dan semua dapat, kakak saya Habibie
yang sering melakukan itu,''kata Sri.
Sri pun menyebut satu persatu
nama saudaranya mulai dari Titi Soebono, yang merupakan orangtua dari
Adri Soebono, pemilik Event Organizer terkenal di Indonesia. Lalu yang
kedua, Satoto Habibie, Alweni Habibie, Rudi Habibie (nama panggilan BJ
Habibie), Fani Habibie, Yayu Muhsin dan si bungsu Suyatim Habibie.
Sri
pun teringat masa-masa kecil ketika bermain bersama saudara-saudaranya
di kota Pare-pare tempat kelahiran mereka. ''Kami suka main di sungai.
Zaman dulu, kami juga suka buat pop corn. Kalau pak Habibie, dia paling
suka main kuda-kudaan yang dibuat dari batang daun pisang. Dia juga suka
buat kapal-kapalan dari kulit jeruk Bali,'' cerita Sri.
Sewaktu
pindah ke Bandung, Sri bercerita kalau umurnya masih 12 tahun. Ia masih
kelas V SD, sedangkan BJ Habibie sudah SMP. ''Empat anak saudara
perempuannya bisa sekolah hingga SMA. Sedangkan yang laki-laki sampai
perguruan tinggi. Pak Habibie saja yang sekolahnya sampai ke Jerman.
Saya yang sudah tamat sekolah Asisten apoteker, membantu ibu membiayai
kakak saya itu, dia melanjutkan studi teknik penerbangan, spesialisasi
konstruksi pesawat terbang di RWTH Aachen, Jerman Barat. Kakak saya ini
cepat lulusnya, nilainya summa cum laude. Gelarnya doktor
ingineur,''kata Sri dengan wajah bangga.
Dari usaha hotel melati dan
katering itu, Sri membiayai kakaknya. ''Karena kondisi keuangan yang
berkekurangan. Pak Habibie hanya bisa makan siang saja. Untuk makan
malam, ia hanya punya sebuah apel. Untuk menghilangkan rasa lapar,
Habibie suka ke perpustakaan. Di sana ia bisa membaca buku dan melupakan
lapar. Tapi disana juga ia dapat rezeki makan malam, karena petugas
perpustakaan sering memberi makanan karena kasihan melihat Habibie,''
kata Sri sambil tertawa.
Ia juga bercerita tentang perjuangan
kakaknya ke kampus hanya dengan sepatu satu. ''Kakak saya ngak mampu
naik bus, hanya bisa naik kereta api paling murah. Dan harus jalan kaki.
Padahal waktu itu musim hujan. Sepatu basah, lalu diperasnya. Dan
dipakai lagi. Karena lihat kegigihannya itu, saya dan ibu berusaha
sekuat tenaga membiayai kuliah,''kata Sri.
Kini Habibie menjadi
anggota keluarga yang paling membanggakan. Ia pernah menjadi Menteri
Negara Riset dan Teknologi, wakil presiden, lalu Presiden RI yang
ketiga. Di Batam, kata Sri, kakaknya juga menjadi pioner pembangunan
kota ini. ''Waktu itu pak Habibie pernah menjabat sebagai ketua Otorita
Batam masa Orde Baru. Ia mengajak suami saya untuk menjadi Kabalag OB.
Katanya dia butuh orang yang kuat mental dan fisik. Kalau saudaranya
tidak ada yang bisa karena orang sipil. Kalau suami saya kan tentara.
Pasti bisa menghadapi kerasnya kota Batam yang waktu itu penduduknya
baru 6000 orang,''kata Sri.
Dalam keluarga kami, kata Sri, saling membantu adalah hal yang paling penting.
Satu
lagi adalah kedisplinan. Sri mengaku ibunya sangat menerapkan itu pada
semua anak-anaknya. Bahkan sejak menikah, Sri dituntut menjadi berani.
''Usia saya baru 19 tahun, suami saya adalah komandan. Otomatis saya
menjadi ibu ketua. Saya harus bisa pidato,sering dimintai nasehat.
Padahal pengertian cerai saja saya tidak tahu, tapi saya sering dimintai
nasehat istri-istri tentara, pokoknya saya ini lulusan universitas
alam. Dari pengalaman di lapangan jadi serba bisa,''kata Sri sambil
tersenyum.
Sebagai ibu empat anak, tugasnya menyekolahkan
anak-anaknya sudah tuntas dan sudah memiliki usaha masing-masing. Anak
pertamanya, Masmariyanto, adalah pemilik kilang minyak di Amerika. Yang
kedua, Ade Afiyanto, Direktur Pabrik Senjata terbesar di Asia Tenggara,
anak ketiga,, Hari Rudiono, arsitek. Dan si bungsu, Sri Utami, dokter
gigi. Suaminya deputi Menristek di Jakarta. ''Si bungsu ini sekarang
beralih profesi mengurusi anak-anak autis,''kata Sri lagi.
Sri pun
bercerita lucu, soal nama anak ketiganya. ''Waktu itu saya mau
melahirkan, suami sedang ikut perang. Yang menunggu saya pak Habibie.
Makanya dikasih nama Hari Rudiono. Yang dalam bahasa jawa artinya hari
itu ada Rudi (nama panggilan pak Habibie),''tutur Sri sambil tertawa.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar