Boat dari pelabuhan Sekupang baru saja merapat di pelabuhan Belakang
Padang. Namun tak satupun penumpang boat tadi memilih naik becak. Mereka
justru memilih naik ojek, tapi ada juga yang hanya berjalan kaki.
Sekhun (50) yang sedari tadi duduk di bangku panjang menatap satu
persatu penumpang yang melewati becaknya. Sejak pukul 08.00 WIB Sekhun
sudah ada di pangkalan becak depan kedai kopi yang juga tepat berada
disebelah kanan pintu keluar pelabuhan. Begitu setiap hari yang
dilakukan Sekhun, mengenjot becaknya mengantar penumpang dari satu
tempat ke tempat lain di pulau yang luasnya 68,2 km persegi itu.
Tak terasa, sudah dua puluh tahun Sekhun melakoni pekerjaan ini. Dari
Purbalingga, ia bersama Kusmiati, istrinya dan Farah Soraya, anak
sulungnya datang ke Belakang Padang. Mencoba peruntungan hanya dengan
uang yang tersisa Rp190 ribu. "Malam harinya saya cari sewaan becak.
Waktu itu saya dapat becak yang sewanya Rp30 ribu perbulan. Tapi
alhamdulilah 2 tahun narik becak, saya bisa beli becak Rp600
ribu,"kenang Sekhun.
Kini, dengan penghasilan perharinya Rp30 ribu, dan masih harus
berpanas-panas mengenjot becak, Sekhun bisa sangat bangga memperlihatkan
pada ketiga anaknya. Bahwa profesi ini telah membuatnya menjadi seorang
sarjana.
Satu bulan lalu, Sekhun resmi menerima gelar sebagai sarjana Pendidikan Agama Islam dari STAI Ibnu Sina.
Dengan susah payah dilaluinya masa-masa kuliah. Hari Sabtu dan Minggu
yang seharusnya menjadi hari paling banyak penumpang, harus direlakan
demi belajar lagi. "Demi untuk kebaikan harus ada yang dipaksakan. Saya
juga ingin memotivasi anak saya agar belajar lah yang lebih giat dan
lebih tinggi. Selain itu memberi mereka prinsip bahwa belajar itu tidak
mengenal umur,"kata Sekhun kuliah di usia 46 tahun.
Biaya kuliah memang sering menjadi masalah bagi Sekhun. Sekarang saja,
Sekhun masih punya tunggakan uang kuliah Rp11 jutaan. "Pernah waktu itu
mau ujian harus bayar Rp130 ribu. Saya pinjam teman sesama tukang becak.
Waktu kuliah di Batam saya pernah ngak ada uang untuk ongkos, untung
ada teman-teman yang bantu,"kata Sekhun yang mengambil kelas Extension
yang lokal belajarnya numpang di MI amanatul Ummah, Belakang Padang.
Belajar diusia yang tak muda lagi memang membuat Sekhun agak kikuk.
Apalagi dari 13 orang teman sekampusnya adalah anak-anak yang baru tamat
SMA.
Sekhun memang selalu ingin memperdalam ilmu agamanya. Karena sampai
sekarang, Sekhun masih sering dipanggil untuk memberi ceramah agama.
"Kalau bulan puasa, saya pasti keliling Belakang Padang ngasih ceramah
agama. Sesekali juga dipanggil di masjid yang ada Batuaji Kibing,"kata
Sekhun yang pernah jadi guru honorer selama 7 bulan di SD 019 (yang
sekarang SD 03) Belakang Padang.
Mengajar agama Islam memang selalu menjadi pilihan Sekhun. Karena itu ia
ingin selalu belajar agar dakwah agama yang diberikan tak membosankan.
"Di kuliah saya dapat ilmu baru metode pengajaran dakwah. Artinya
bermanfaat juga kuliah saya ini. Saya kuliah ini bukan karena ingin
menjadi guru, atau hanya berbangga-bangga dengan titel dibelakang nama
saya. Tapi saya hanya ingin memotivasi anak saya saja,"kata pria yang
juga pintar menjahit.
Sekhun memang tipe orang yang suka belajar. Keahlian menjahitnya saja
diperoleh hanya dengan melihat-lihat temannya yang seorang penjahit.
"Waktu itu saya lagi malas narik becak. Jadi saya belajar menjahit saja.
Ngak terasa sekarang sudah 8 tahun terima jahitan di rumah,"kata pria
yang tinggal di Kampung Jawa RT3 RW2, Sekanaraya, Belakang Padang.
Tak hanya tetangganya saja yang menjahitkan baju pada Sekhun. Tapi
Sekhun juga dapat order menjahitkan baju sekolah SDI Integral Luqmanul
Hakim. "Kebetulan anak saya ngajar disana. Farah Soraya, anak sulung
saya ini kerja sambil kuliah. Sekarang dia sudah semester 6 jurusan
Bahasa Inggris Fakultas Ilmu Keguruan Unrika,"cerita Sekhun yang ingin
anaknya ini belajar mandiri.
Diakui Sekhun, ia dan anaknya hanya berselisih satu tahun saja ketika
mulai mendaftar kuliah. Farah saat itu masih SMA. Ia berharap dengan
kuliah, Farah terpacu untuk kuliah juga. "Alhamdulliah terwujud. Nah.
Yang sekarang adiknya yang kedua juga sudah bercita-cita mau kuliah di
Al Azhar. Tapi untuk sekarang biar sekolah dulu di Sulawesi disana ada
Tahfiz Quran murah, semoga niatnya tercapai,"harap Sekhun yang ditemui
Batam Pos, Selasa (12/6).
Ia berharap pekerjaannya sekarang bisa mewujudkan keinginan
anak-anaknya. Sekhun pun bercerita ketika tahun 1992 saat pertamakali
narik becak. Jumlah becaknya tak terlalu banyak. Kalau sekarang ada
sekitar 170 becak. Yang jalan hanya separuhnya. Dulu uang Rp30 ribu
sudah banyak, karena semua belanjaan murah. Kalau sekarang serba mahal.
Makanya istri kadang ngomel. Apalagi ditambah biaya kuliah saya. Tapi
lama kelamaan istri bisa terima keadaan. Dia maklum,"kata Sekhun sambil
tersenyum.
Jahitan lah yang kadang menolong. Tapi tidak bisa terlalu diharapkan,
begitu kata Sekhun. Saat-saat tertentu seperti lebaran, ia kebanjiran
order. "Sekarang saja saya sudah tidak terima jahitan lagi. Sudah penuh
sampai puasa,""kata Sekhun yang sudah mulai menularkan ketrampilan
menjahitnya pada istri. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar