Yetti, Mantan Penjahit di Arab Saudi
Gaun pernikahan itu nyaris selesai. Batu-batu permata seberat 1 kg juga
sudah terpasang diseluruh gaun berwarna krem itu. Dipandangi gaun itu
lama-lama. Pikiran Yetti pun galau. Aman kah ini, tidak melorotkah nanti
saat dipakai. Sudah satu minggu ini Yetti, wanita asal Bandung yang
menjadi penjahit ipar raja Arab Saudi ini stres berat. "Saya sampai BAB
darah. Karena memikirkan baju itu. Saya harus bisa membuat gaun yang
panjang kainnya 20 meter dengan hiasan batu permata. Gaun itu sedada dan
dibagian punggungnya juga terbuka. Jadi tidak ada tali sama sekali,
padahal baju itu cukup berat karena harus menahan batu permata yang
beratnya 1 kg,"kata Yetti mengenang ketika bekerja pada Amabandari
pemilik perusahaan jahit Masnahayati di Madinah.
Di Masnahayati inilah, Yetti menjadi sangat dikenal. "Baju-baju yang
saya jahit itu melebihi baju yang dipakai Syahrini. Perempuan Arab suka
pakai baju yang terbuka dibagian dada dan punggung,"kata Yetti yang
pernah menjadi penjahit selama 10 tahun di Arab Saudi.
Gaun-gaun sexy itu, kata Yetti, dipakai saat pesta. Sebelum masuk
gedung, perempuan-perempuan Arab ini masih menggenakan kain hitam yang
menutup hingga mata. Tapi saat di dalam, kain itu dibuka. "Biasanya
pembantu-pembantu mereka yang asal Indonesia itu yang melipatkan dan
menyimpan dalam kantong plastik. Kain itu harganya mahal, bisa sampai
jutaan rupiah. Kalau yang murah, digantung saja,"kata Yetty yang pernah
menjadi penyelenggara pesta di sana.
Karena gedungnya dipisah dengan pria, makanya perempuan-perempuan Arab
berani buka-bukaan. Jadi setiap pesta, selalu ada dua gedung yang
disewa.
Karena itu, perempuan Arab tidak pernah ketinggalan mode. Mereka tak
kalah berani dengan orang-orang barat. Gaunnya selalu sexy, glamour dan
mahal. "Orang-orang disana juga suka berlebih-lebihan. Itu yang paling
saya ngak suka. Contohnya, kalau ada tamu, tuan rumah bisa menghidangkan
satu ekor kambing,"kata Yetti yang sempat berganti 4 majikan selama
sepuluh tahun
di Arab.
Menjadi penjahit atau supir kata Yetti lebih dihargai majikan. Beda
dengan pembantu rumah tangga. "Saya tidak boleh cuci piring, saya
disuruh nonton tv, nemani majikan lihat model-model baju. Kata dia, saya
harus bisa buatkan baju seperti yang ada di tv, "kata Yetti yang selalu
bisa memenuhi kemauan majikannya itu.
Kalau pembantu rumah tangga di Arab sering menerima umpatan. Penjahit
atau supir tidak. "Alhamdulilah saya tidak pernah dihina atau dikatai
seperti bahlul (bodoh), majenun (gila) atau homar (kuda keci). Kuda
kecil itu sama seperti umpatan seekor hewan yang paling kasar di
Indonesia.
Istri dari seorang arsitek di Singapura ini pernah juga tertipu. Awalnya
ditawari jadi penjahit, tiba di rumah majikan barunya justru dijadikan
pembantu rumah tangga. "Saya ngambek semalaman. Minta dipulangkan. Saya
ngelawan. Saya bilang kalau menjadi penjahit di Indonesia kurang
menjanjikan, makanya saya ke Arab. Sejak kecil sudah jahit. Saya tidak
mau jadi pembantu. Karena lihat saya ngelawan, akhirnya majikan saya ini
ngalah. Dia beli mesin jahit,"kata Yetti yang akhirnya tidak jadi
pulang ke tanah air.
Pelanggan-pelanggan jahitnya kebanyakan guru-guru yang merupakan teman
majikan. "Majikan saya guru juga. Mereka ini termasuk keluarga miskin.
Makanya saya masih harus bantu cuci piring, karena pembantunya cuma
satu, ya saya sendiri saja. Jadi selesai menjahit, saya bantu cuci
piring,"kata Yetti.
Ongkos jahit yang mahal, membuat Yetti bertahan di Arab.
Ketika membuatkan gaun pengantin untuk anak majilkan, ia sampai diberi
upah 2000 riyal. Karena gaun pengantin itu jika dijual harganya sampai
10 ribu riyal. Di Masnahayati inilah, Yetti mulai melakukan join bisnis.
Dengan sistem bagi hasil fifty-fifty. "Di Arab kita tidak bisa mainkan
harga. Ongkos jahit sebuah gaun 350 riyal. Biasanya konsumennya tanya
lagi ke majikan. Jadi harga akan sama,"kata wanita yang sudah bisa
menjahit sejak kelasa 6 SD.
Saat bekerja di Masnahayati, kota Zizan, sebelah selatan Arab Saudi.
Disinilah, Yetti kebanjiran order bunga dari kain. Sisa-sisa kain
dikreasikan menjadi bunga untuk padanan gaun, bando, tas juga sepatu.
"Nenek disini masih suka gaya. Mereka berani pake bunga-bunga besar di
kepala, sepatu juga tasnya.
Karena bunga-bunga itu kreasi Yetti dari kain sisa, majikannya membiarkan uang hasil penjualannya untuk Yetti.
Dalam seminggu, Yetti bekerja hanya 4 hari, 3 hari lainnya, Yetti libur.
Majikannya yang juga pemilik usaha jahit Masnahayati ini memberi
kebebasan Yetti. Ia sering diajak pesta. Selama tiga hari itu Yetti ikut
pesta di Majraan (seperti peternakana dan perkebunan). "Kami bawa mobil
6, jalan beriringan. Satu mobil untuk majikan laki-laki dan perempuan,
satu mobil untuk saya dan anak-anaknya juga anak belian (seorang anak
negro, biasanya orangtua anak itu dulunya pernah dibeli oleh majikan
saya), mobil lain untuk pembantu-pembantu, mobil lain untuk
barang-barang," cerita Yetti lagi.
Karena kebebasan yang diberikan majikannya ini, membuat Yetti bisa
berumroh hingga 10 kali. "Waktu itu saya belum begitu memahami makna
dari berumroh. Jadi seperti sesuatu yang biasa saja," kata Yetti. **
Bekerja di Arab Saudi terpaksa dilakoni Yetti setelah usaha kue
keringnya bangkrut. Kue yang tadinya laris manis di 100 toko, tidak laku
sama sekali. "Ada yang ngak suka, dia nebar garam di setiap toko.
Akibatnya kue kering putri saju saya itu ngak ada yang beli. Kalau
dimakanpun, tenggorokan jadi gatal, makanya saya berangkat ke Arab.
Majikan pertamanya seorang istri keempat dari pemilik dealer mobil.
"Saya jadi penjahit pribadi istrinya itu. Saya digaji 800 riyal," kata
Yetti.
Saat itu, ia sudah janda dengan tiga orang anak. Yetti mengaku terpaksa
dinikahkan muda. Ia yang sering jadi korban kekerasan dalam rumah
tangga, memilih berpisah dengan suaminya yang suka memukul.
Karena harus menghidupi anak-anaknya itu, Yetti mencoba semua hal, dari
jualan kue kering hingga menjadi penjahit. "Sempat menikah lagi, namun
suaminya meninggal karena sakit. Yetti tak patah arang. Ia pun berjualan
di kampus ITB Bandung. Kantinnya berkembang dan besar.
Di kampus ini juga akhirnya Yetti ketemu suaminya yang sekarang. Seorang
mahasiswa yang umurnya 27 tahun lebih muda. Pernikahannya ditentang,
anak dan keluarga besarnya. Satu tahun menikah, tinggal di rumah
sendirian di Bandung. Suami kerja di Singapura. "Kaya tapi serasa
miskin, rumah besar tapi sepi. Karena dikucilkan. Saya ngak tahan mau
ikut suami aja. Tapi kata suami sabar ya. Sampai dapat rumah,"kenang
Yetti dengan suara bergetar.
Tahun 2002, Yetti akhirnya diboyong suaminya di Singapura. Di negeri
Singa ini, pakaian yang dijahitnya sendiri ternyata diminati. "ongkos
jahitnya 50 dolar singapura.
Tunik-tunik panjang jadi baju kesukaan disana. Ibu-ibu keturunan Melayu Singapura jadi langganan Yetti.
"Satu hari saya buat satu baju. Pekerjaan rumah juga saya kerjakan.
Sambil menunggu suami pulang jam 11 malam, saya selesaikan jahitan,
"kata Yetti yang pernah menetap di Singapura selama dua tahun.
Menjahit memang menjadi kesukaan Yetti sejak kelas 6. Agar bisa
menjahit, Yetti kecil sembunyi dibalik lemari. "Saya ambil handuk juga
sprei punya mamak yang dijemur. Lalu saya jahit dengan tangan. Saat
bajunya selesai saya tunjukkan ke mamak. Mamak tidak marah, dia malah
memasukkan saya ke kursus jahit,"cerita Yetti yang kini sudah berusia 62
tahun.
Yetti mengaku mengembangkan keahlian jahitnya dengan cara sederhana.
"Adik saya pernah diberi baju yang enak dipakai oleh kenalannya. Baju
pemberian orang barat itu saya dedel (buka jahitannya). Lalu saya
pelajari bentuknya, "kata Yetti yang ditemui di rumahnya di Puri Legenda
blok A16 no 1, Kamis (7/6).
Hasilnya, jahitan-jahitan yang dibuat Yetti dikenal enak dipakai. Usia
14 tahun Yetti sudah terima jahitan. "Jahitan saya dikenal rapi. Kalau
dipakai tidak ada kerutan di pundak maupun lengan. Perut buncit pun
tidak terlihat,"kata Yetti sambil menunjukkan beberapa baju kreasinya.
Baju tunik itu bermodel sederhana namun tetap terlihat elegan. Ketika
pindah ke Batam, Yetti sudah mendesain rumahnya menjadi butik. Namun
batal, karena ia kesulitan mencari penjahit yang seide. Selain itu untuk
buat butik butuh modal besar. "Saya takut ngak ada yang meneruskan.
Umur saya makin tua. Anak-anak juga ngak ada yang bisa menjahit. Saya
ingin juga membagi ilmu jahit ini. Ada yang ingin belajar, saya siap
menurunkan ilmu saya ini,"kata Yetti.
Tak ingin kesepian dirumah, karena suami bekerja di Singapura, Yetti
memutuskan bisnis kuliner. Sebulan ini Yetti merombak ruangan yang
tadinya untuk butik menjadi warung tenda. Ia berjualan kupat tahu khas
Bandung, lupis, nasi tim ayam juga makaroni bakar. Kini rumahnya selalu
ramai oleh pembeli juga karyawannya. "Saya ngak kepengen rumah seperti
kuburan. Saya kepengen lebih kenal dengan tetangga. Makanya saya pilih
jualan sarapan saja. Dulu saya lebih sering di dalam rumah. Jadi dengan
tetangga juga ngak terlalu dekat, " kata Yetti yang sudah menetap di
Batam selama delapan tahun.
Karena tujuan jualan agar tak kesepian, Yetti mengaku tidak terlalu
ngoyoh (memaksakan diri) harus dapat untung banyak. "Kadang sehari dapat
200 ribu, kadang bisa 500 ribu. Suami saya sampai bilang kalau ngak ada
uang untuk gaji karyawan, pakai uang gajinya saja,"kata Yetti yang
malam itu sedang membuat kue lupis. ***
ibu yeti dimana sekarang, saya juga di batam, boleh dong saya diajari jahit,
BalasHapus