Halimah 'Maylan Raharjo' Tusadiah, Mualaf Keturunan Tionghoa
Wajahnya segar, senyumnya tak lepas dari bibirnya ketika menyambut kami.
Dibalut kaftan hijau tua yang makin modis dengan padanan kerudung hijau
dan hitam. Siang itu di rumahnya di komplek Permata Baloi, perumahan
yang banyak dihuni orang-orang keturunan Tionghoa, Halimah 'Maylan
Raharjo' Tusadiah terlihat segar.
Padahal wanita keturunan Tionghoa bermarga Tan ini sedang sakit. Dua
tahun lalu, di payudara sebelah kanannya terdeteksi kanker stadium 3.
Halimah yang sudah menjadi mualaf sejak menikah dengan Wisnu tahun
1998, tidak menjadi depresi. Ia bahkan merasakan makin dekat dengan
Allah. ''Keputusan saya menganut agama Islam, karena saya tidak ingin
tanggung-tanggung. Saya tidak mau hanya tertulis Islam di KTP. Saya juga
berfikir alangkah kasihannya anak-anak kalau orangtuanya beda agama.
Mereka pasti bingung mau mencontoh yang mana,'' kenang wanita yang baru
saja berulangtahun ke 47 tahun.
Sejak itu, Halimah tak pernah absen membawa buku tuntunan sholat. Dimana
saja, ia baca. Ibu dua putri yang kini duduk di bangku sekolah menengah
pertama ini berusaha mempelajari Islam dengan sepenuh hati. Berbagai
majelis taklim diikuti. Tabina (dulunya Humairah) adalah majelis taklim
yang diikuti Halimah hingga sekarang. Di majelis taklim pimpinan
Rekaveny Soeryo Respationo, istri wakil gubernur Kepri inilah Halimah
mulai belajar mengaji. "Waktu itu saya satu-satunya yang masih belajar
iqro. Saya ngak malu kok. Memang saya belum bisa baca huruf Arab,,''
kata Halimah yang saat itu sudah berumur 45 tahun.
Dengan kesungguhan hati ingin mempelajari Al Quran, pada tanggal 23
Agustus 2011 lalu, Halimah mengkhatamkan Al Quran. "Saya juga ingin
anak-anak juga pintar mengaji, makanya saya panggil guru ngaji. Sekalian
juga saya belajar lagi," kata Halimah dengan suaranya yang lembut.
Siang itu, di ruang tamu rumahnya, televisi dibiarkan hidup. Channel MNC
Muslim jadi tontonan Halimah. "Saya berusaha terus menambah ilmu agama.
Tak hanya dari majelis taklim, tapi juga tontonan televisi. Apalagi
sejak sakit, Halimah lebih banyak di rumah. Sesekali ia juga keluar
rumah untuk ikut kegiatan majelis taklim atau ke Medan berobat.
"Alhamdulilah, Allah memberi saya banyak sekali nikmat. Saya masih bisa
diberi kekuatan berjalan. Saya masih bisa berobat sampai ke luar negeri.
Rezeki kami juga menjadi bagus,'' tutur wanita yang sedang menyiapkan
sebuah pondok pesantren untuk anak-anak tidak mampu.
Memutuskan beragama beda dengan orangtua, tidak membuat ikatan keluarga
menjadi renggang. Hadiwijaya Raharjo (78), orangtua Halimah tetap
mendukung. "Dari keturunan nenek ada juga yang Islam kok. Lalu anak-anak
nenek ada yang menikah dengan muslim. Jadi di keluarga kami sudah biasa
berbeda agama. Saya dulu kristiani. Orangtua saya budha,'' kata Halimah
yang merupakan anak pertama dari 4 bersaudara.
Halimah memang terlihat berbeda dengan 3 saudaranya yang lain. Ia tidak
terlalu terlihat seperti keturunan Tionghoa. Bermata besar dan logat
bicaranyapun sudah seperti orang Jawa. ''Kalau lagi ngumpul di rumah
papa di Yogya, pasti dibuatkan makanan muslim. Adik-adik saya yang
beragama Kristen juga paham soal makanan yang boleh dihidangkan ketika
saya datang,'' cerita wanita berkulit putih bersih ini.
Setelah 14 tahun mendalami Islam, Halimah mengaku lebih paham
ajaran-ajaran agama Islam dibandingkan suaminya. ''Anak-anak sering
bertanya dengan saya. Alhamdulilah saya bisa menjelaskan," kata Halimah
yang tidak pernah melewatkan sholat sunah.
Halimah bahkan tak mau melewatkan waktu sholat. Seperti sekarang saat
sakit, ia tetap menjalankan sholat walau hanya duduk. Namun puasa tahun
ini, tidak bisa dijalankan Halimah. "Saya tidak boleh drop. Harus selalu
minum dan makan. Obatnya juga ngak boleh stop. Makanya tahun ini saya
tak puasa lagi,'' kata Halimah.
Kondisi Halimah yang kadang-kadang lemah, sering membuat khawatir kedua
putrinya. "Mereka suka protes. Katanya mami nih, sudah sakit masih ingat
sholat, '' cerita Halimah sambil tersenyum.
Kekuatan doa dan zikir sangat dirasakan Halimah. Ia mengaku menemukan
ketenangan. Dikala nyeri menyerang payudaranya, ia baca zikir sambil
mengusap payudaranya. ''Alhamdulilah, nyerinya hilang. Saya juga seperti
diberi kekuatan oleh Allah menghadapi kenyataan ini,'' kata Halimah
yang saat ini menjalani terapi zikir untuk mengobati kanker payudaranya.
Kenikmatan yang dirasakan Halimah itu tak ingin dirasakan sendiri. Ia
juga mengajak teman menjadi mualaf. Ia bahkan menggelar pengajian khusus
mualaf di rumahnya.
Halilahpun bernazar, jika penyakitnya sembuh ia akan mengajak suami dan
anak-anaknya umroh. "Karena ada saja halangannya. Tapi sewaktu saya
berangkat umroh tahun lalu, saya justru diberi kemudahan,'' kata
Halimah. Mungkin, kata Halimah, karena sudah ada keinginan, jadi
jalannya ada saja. Ia yang waktu itu hanya membeli perlengkapan umroh,
justru tak lama kemudian berangkat. Padahal waktu itu uang juga belum
ada. Tapi dikasih kemudahan, akhirnya bisa berangkat,'' tutur Halimah
dengan semangat. Di Mekah, Halimah pun menemukan keajaiban-keajaiban
yang tak terduga. Ia yang nyaris terinjak-injak saat Tawaf bisa keluar
dari kerumunan orang dengan memegang baju bagian belakang seorang pria
bule. Bule itu kata Halimah, tiba-tiba muncul didepannya ketika ia sudah
mulai lemas dan pucat dan menghilang ketika ia ingin mengucapkan
terimakasih. ''Waktu itu saya terus berdoa didepan kabah, minta
perlindungan pada Allah. Alhamdulilah saya ditolong,'' kata Halimah yang
saat umroh bisa fit padahal sebelum berangkat ia lemas karea efek
kanker payudaranya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar