Maria Mediatrix, Pengajar Sukarela Anak-anak Suku Laut di Pulau Bertam
Dia hanya seorang wanita, ibu dua anak. Berani melintas laut dengan pompong kecil demi mencerdaskan anak-anak suku laut.
Lima
orang pria baru saja keluar dari laut. Langkah-langkah mereka berat,
karena menarik selembar besi tua yang sudah karatan. Lempengan besi
bekas kapal itu tak seberapa lebarnya, tapi cukup membuat wajah kelima
orang itu sumringah. Tak lama, suara mesin pemotong besi sudah terdengar
di pelabuhan Pandan Bahari Tanjunguncang siang itu. Suara yang menusuk
telinga itu tak membuat Maria Mediatrix yang sejak tadi duduk di
pelantar itu terganggu. Ia tetap tenang, sambil matanya melihat jauh ke
pulau Bertam. Sudah hampir setengah jam, wanita yang menjadi guru
sukarela di pulau Bertam itu duduk menunggu pompong yang akan
menjemputnya. ''Tadi sudah nelpon pak Muhtar. Saya memang selalu dibantu
pak RT untuk antar dan jemput ke pulau,''kata Maria pada Batam Pos,
Selasa (9/10) di pelantar pelabuhan Pandan Bahari.
Lima belas menit
berlalu, pompong Pak RT yang ditunggu-tunggu tak juga kelihatan.
Tiba-tiba ponsel Maria berbunyi, bertanda sms masuk. ''Bu, nanti bapak
jemput sekalian antar teri,''kata Maria membaca sms dari Yayang, anak
Muhtar.
Maria pun kembali menunggu di pelantar. Karena yang ditunggu
tidak juga datang, Maria pun berinisiatif menyewa pompong nelayan yang
sejak tadi bersandar di pelantar. Sebuah pompong kecil akhirnya mau
mengantarkan Maria ke pulau yang dikenal sebagai tempat tinggalnya
orang-orang Suku Laut.
Pompong yang hanya berjarak sejengkal dari air
laut itu membawa Maria dalam hitungan dua puluh menit saja ke pulau
Bertam. ''Saya sudah biasa seperti ini. Keliling dari satu pulau ke
pulau lain ngasih ceramah agama. Tapi sejak badan saya ngak kuat lagi
kena angin laut, saya hanya pergi ke pulau Bertam, ngajar anak-anak juga
pengajian dengan ibu-ibunya,''kata Maria di atas pompong.
Empat
tahun sudah, Maria bolak-balik Tanjunguncang-Pulau Bertam. Mengajari
anak-anak bahasa Inggris. Maria mengaku ingin sekali memberi sesuatu
yang beda dari yang ada saat ini. ''Saya asli orang Maluku Tenggara. Di
daerah kami, bahasa Inggris dan bahasa Belanda menjadi bahasa percakapan
sehari-hari. Makanya Bahasa Inggris saya cukup baik. Inilah jadi
modal saya mengajari anak-anak di pulau,''kata wanita yang kakeknya
seorang Belanda.
Siang itu, tak seperti biasa. Maria harus menunggu
murid-muridnya di rumah Muhtar, RT pulau Bertam. ''Biasanya saya masih
ditengah laut, mereka sudah menunggu. Ada dua puluhan anak yang belajar
dengan saya. Mulai dari umur 5 tahun sampai 12 tahun,''kata wanita yang
tidak lulus SMA namun sekolah di pesantren.
''Lagi pada di acara
pengantin. Makanya anak-anak belum datang. Sebentar lagi dipanggil,''
kata Nurmadiyah, istri Muhtar sambil menghitung uang ribuan dari hasil
menjual bers bulog.
Acara pernikahan menjadi hiburan penduduk pulau
Bertam, pulau Gara, pulau Linga dan pulau-pulau kecil disekitarnya.
Mereka datang berbondong-bondong melihat hiburannya. Di pelantar pulau
Bertam saja, lalu lalu pompong membawa penduduk sekitar. Mereka datang
dengan pakaian ala kadarnya. Ada yang mengenakan celana pendek dipadu
kaos u can see, baju tidur juga baju rumah yang warnanya lusuh.
Menjelang
pukul 15.00 WIB, satu persatu murid Maria berdatangan. Bocah-bocah
berkulit hitam legam masuk kedalam rumah Muhtar sambil membawa buku
tulis dan pensil. Fitri (11)datang dengan adiknya, Lara (5). Menyusul
Mona (7) datang hanya mengenakan kaos singlet kumal. Juga Lusiana (8).
Ratna (11) menjadi murid terakhir yang datang. Bocah berbadan subur ini
baru duduk di kelas 2 SD walau umurnya 11 tahun. Di ruang tengah rumah
panggung Muhtar itu, Maria mengajak lima muridnya duduk. Menghadap papan
tulis yang baru dua minggu ini dibelikan BP Kawasan. ''Saya minta
bantuan ke OB. Karena kasihan lihat anak-anak. Sekarang mereka makin
semangat belajar. Berebut menulis di whiteboard,''kata wanita kelahiran
tahun 1972 ini. Maria pun bercerita bahwa ia selalu membeli karton untuk
dijadikan papan tulis. Karton itu dibelinya dengan harga Rp8000. Setiap
kali mengajar, setiap kali itu juga, karton baru harus disediakan
Maria. Anak-anak juga hanya diberi selembar kertas folio untuk menulis
materi yang diajarkan.
Maria memang harus mengeluarkan uang sendiri.
Bahkan transportasi pun ia tanggung. ""Ya minimal Rp50 ribu untuk
ongkos pulang pergi. Naik angkot dari rumah saya di tiban kampung sampai
ke Tanjunguncang. Kemudian ongkos pompong. Saya sering ngasih untuk
ganti uang minyak pompong,''kata wanita yang menjadi mualaf sejak duduk
di bangku SMU.
Maria yang tidak memiliki pekerjaan tetap ini yakin
tetap bisa menjalankan misinya. Ia percaya rezeki pasti datang. Maria
memang dikenal sebagai ustazah, pemberi ceramah agama di pengajian
ibu-ibu.
Seminggu dua kali, Maria pasti turun ke pulau Bertam. Dua
anaknya , Franli Leonardo (9) dan M. Omensyah (8) dititipkan di panti
asuhan di Tiban. Dulu sewaktu kedua anaknya masih kecil, yang bayi
dititipkan pada pak RT di Tiban Kampung, anaknya sulungnya dibawa. ''Si
abang saya gendong. Waktu itu umurnya masih satu tahun. Anak saya
pernah kecebur laut. Dia tiba-tiba jatuh . Untungnya ada yang cepat
nolong. Anak saya ngak apa-apa. Sekarang, mereka tidak pernah saya ngak
ajak lagi. Saya titipkan saja di panti asuhan di Tiban,''kata Maria
yang kini menjadi single parent sejak suaminya meninggal dunia.
Sore
itu, si bungsu tiba-tiba menelpon. Dari obrolan di telpon itu, kedua
anaknya minta Maria segera menjemput. "Si adek nangis, katanya udah
kangen maminya,''kata Maria.
Maria mengaku sudah menitipkan anaknya
sejak dua hari. Karena ia harus ke pulau Bertam mengurus surat
penunjukkan dirinya menjadi pengajar di pulau Bertam dan menginap di
sana.
''Bu ayo ajarin nyanyi,''kata Lara tiba-tiba membuyarkan
lamunan Maria. Mariapun segera bersenandung. Sebuah lagu ciptaannya
sendiri ia ajari pada kelima siswanya. ''Nanti kalian siap-siap ikut
rekaman ya,''kata Maria pada siswanya.
Sudah beberapa bulan ini Maria
sedang menyiapkan album lagu. Ia ciptakan sendiri baik itu kata-katanya
juga musiknya. Ada enam lagu yang selesai di aransemen. Seperti
Sayangku, bulan bintang, doa bunda, ya Allah, biarkan ku pergi dan
kekasihku. ''Lagu-lagu ini sudah bisa didengar. Karena sudah direkam di
cd,''kata Maria sambil memperlihatkan sekeping cd.
Nantinya kata
Maria, anak-anak suku laut akan ikut bernyanyi. Dari hasil penjualan
album ini akan disumbangkan untuk pendidikan anak-anak suku laut.
Sekarang,
kata Maria, ia akan konsentrasi dulu di pulau Bertam, selanjutnya ia
juga akan mengajar anak-anak di pulau Gara dan Lingka. "Kan jaraknya
juga ngak jauh dari pulau Bertam. Kasihan kan kalo tidak ada yang
memberi pelajaran tambahan pada mereka.
Maria mengaku sedih melihat
keseharian anak-anak suku laut. Banyak yang putus sekolah. Rata-rata
sekolah dasar saja. Tapi ada juga yang tidak sekolah. Mereka lebih
memilih cari ikan. ''Kalau Magrib, mereka sulit diajak belajar atau
mengaji. Mereka lebih memilih melaut. Biasanya udah pada bawa alat
pancing,''kata Maria.
Apalagi ditambah kondisi listrik yang belum
ada. ''Genset saya sudah rusak. Sudah tiga tahun dibeli. Dan sudah
beberapakali diperbaiki. Kalau lagi bagus, genset itu hanya bisa
menerangi 16 rumah saja. Itupun sampai pukul 12 malam,''kata Muhtar yang
sudah menetap di darat sejak tahun 1984. Setiap warga yang ingin
rumahnya diterangi listrik membayarkan uang sebesar Rp5000 perhari.
Kadang,
disaat anak-anak sedang belajar, genset tiba-tiba rusak. Muhtar mengaku
tak punya pilihan lagi. Untuk membeli genset baru, ia mengaku belum
punya dana lagi. Ia berharap ada pihak-pihak yang berbaik hati dan
perhatian pada pendidikan anak-anak suku laut mau menyumbangkan genset
ke pulau Bertam.
Saat ini di pulau Bertam, jumlah kepala keluarga
mencapai 50 kk. Kebanyakan tinggal di tepi pantai dengan mendirikan
rumah panggung. Rumah-rumah tersebut dibangun oleh Otorita Batam tahun
1998. ''Waktu itu pak Soedarsono yang bangun rumah-rumah orang suku laut
disni. Baik itu yang di pulau Gara, Bertam juga Lingka),''kata Muhtar.
Kondisi rumah yang dibangun OB itu ada yang sudah rusak. Tapi ada yang
tetap ditempati. Kalau sekarang penduduk di pulau Gara sekitar 50 kk, di
pulau Lingka 50 kk. Mereka semua orang suku laut, yang tadinya tinggal
di perahu. Muhtar bahkan masih ingat saat-saat tinggal di perahu.
Berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain. Berbeda dengan
Nurmadiyah, istrinya, yang sudah mulai suka tinggal di darat saat
remaja. Ia senang ketika ada yang mengajarinya menjahit dan membuat
kue. ''Saya ingin maju,''kata ibu dari Yayang (30) dan Azan (23), guru
honorer di SD 006 Pulau Bertam. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar