Siti Lauh wanita tertua di Tempat Pembuangan Sampah Telaga Punggur
Gundukan sampah plastik setinggi dua meter itu sudah mengeras. Warnanya
coklat. Karena sudah lama bercampur dengan tanah. Diatas gundukan
sampah itulah, seorang diri Siti Lauh mencari besi-besi, paku, juga
botol-botol plastik. Sampah lama milik sebuah perusahaan itu
disekelilingnya dipagar seng.
"Baru-baru ini aja boleh cari sampah
disini. Tadinya tempat ini ditutup," kata wanita yang kini berumur 80
tahun lebih.
Ia pun memperlihatkan 5 botol minuman air mineral yang sudah gepeng dan
berwarna coklat karena sudah diselubungi tanah. Dan paku-paku yang
menempel di sebuah alat pengais. Wanita paling tua di tempat pembuangan
sampah ini pun menunjukkan cara kerja alatnya itu. Tangan kanannya
membuka tumpukan sampah dengan bantuan sebuah alat dari besi. Sedangkan
tangan kirinya mengorek tanah dengan alat menyerupai palu namun
bermagnet. Selintas yang terlihat hanya tanah-tanah yang menggulung alat
itu, ternyata saat Siti mengambil tanah yang menempel dan membuang
tanahnya yang terlihat adalah paku-paku. Satu minggu lalu, paku-paku
seperti itu dikumpulkan dan sudah dijualnya. "Saya dapat Rp100ribu.
Perkilonya besi yang murah Rp1200. Kalo yang mahal dihargai
Rp1500/kg,"terang Siti. Sudah hampir dua minggu ini, wanita yang sudah
sepuluh tahun tinggal di TPA (tempat pembuangan akhir sampah) ini
mengisi sore harinya dengan mengais sampah. Sebelumnya wanita asal
Bugis ini hanya berjualan kue keliling. "Dengan jualan kue saya biaya
cucu saya sampai tamat SMA, sekarang mereka lupa dengan saya, mereka
tidak pernah menengok saya kesini. Cucu saya ada di Tanjunguban dengan
ibunya. Kalau anak semata wayang saya juga ngak pulang-pulang, dia ke
kampung sudah 4 tahun,"kata Siti dengan mata berkaca-kaca.
Hidup sebatang kara, membuat wanita yang penglihatannya sudah tak jelas ini harus mencari penghasilan sendiri.
Setiap pagi ia berkeliling kawasan TPA Punggur bahkan yang terjauh sampai kampung Melayu, punggur dalam.
Pukul 03.00 WIB, Siti sudah bangun. Ia langsung membuat adonan donat,
roti kukus, roti goreng juga nagasari. Ia berhenti sejenak saat sholat
Subuh. Setelah itu Siti menggoreng donat juga roti goreng. Didapurnya
yang kecil dan berdinding kayu itu, Siti menyiapkan kue-kue dagangannya
sendirian saja. Menjelang berangkat pukul 06.30 WIB, Siti menata kue-kue
yang jumlahnya tak sampai 60 an. Di baskom plastik warna putih yang
sudah pecah sebagian itu kue-kue dagangannya dibawa. Agar terhindar dari
debu, baskom itu dibungkus dengan kain putih. Lalu dibawanya dengan
cara di junjung atau di letakkan disamping.
Jalan di TPA yang menurun, menanjak dan licin itu harus dilewati Siti.
Selain matanya yang tak mampu melihat dengan jelas dan usianya yang
sudah sangat uzur, membuat wanita ini tak bisa jalan lebih cepat.
Tubuhnya yang mulai bungkuk makin menambah lamban jalannya.
Untuk jualan kue, Siti rela berjalan kaki berkilo-kilometer. Walau hasil
dari jualan kue Rp20 ribu, Siti mengaku lebih aman. Ia tak berani
seperti tetangga-tetangganya, yang mengais-ngais sampah di TPA. "Saya
pernah diajak ke sana, ngak berani lagi. Disana banyak parit-parit yang
dalam. Saya takut jatuh, mata juga tak bisa lihat,"kata Siti.
Jika mau ikut-ikutan mencari sampah saat truk pengangkut sampah datang,
hasilnya lumayan. Siti Aminah tetangga rumah Siti misalnya, dia bisa
dapat uang Rp900 ribu dari hasil ngumpulin sampah juga besi selama
sebulan.
Hasilnya kata Siti, tetangganya sudah bisa membuat rumahnya dari batako.
Siti mengaku pondok kayunya ini juga baru diperbaiki anaknya empat
tahun lalu. Di pondoknya itu, Siti tidur dikamar yang menjadi satu
dengan dapur. Sedangkan ruang tamu sekarang dipakai tidur orang satu
kampung. "Dia numpang tidur dengan anaknya yang masih berumur 3 tahun.
Istrinya kerja jadi TKW di Malaysia, sudah tiga tahun. Suaminya ini
tukang bangunan. Kalo lagi kerja anaknya dengan saya,"kata Siti sambil
menunjukkan seorang bocah berkaos hitam.
Anwar begitu nama bocah berusia tiga tahun itu. Tak satupun kata-kata
keluar dari mulutnya. Ia hanya melongo saja ketika ditanyai. Anwar juga
tak terlihat bergelayut manja seperti layaknya cucu dan neneknya. Ia
memilih berdiri mematung dan melihat saja.
"Waktu masih bayi, anak ini pernah dititipkan di Jodoh. Tapi baru tiga
hari disuruh ambil. Sejak itu dia disini dengan bapaknya,"kata Siti
lagi.
Mereka, kata Siti menumpang tidur saja, kalau makan dia beli sendiri.
Siti mengaku memberi tumpangan karena ruangan tamunya bisa dipakai untuk
tidur. Selain itu dia juga hidup sendiri. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar