Suwarti, Dua Puluh Tahun Jual Jamu
Aroma
kencur tercium dari dapur berdinding kayu itu. Sesekali terdengar suara
batu uleg beradu dengan coek (alat penggiling). Didalam dapur tanpa
jendela itu, seorang wanita berjarik batik yang warnanya sudah memudar
sedang menghaluskan kencur dengan penggilingan batu. Tak sampai 2 menit,
kencur itu sudah halus. Kemudian dicampurkan kencur yang sudah halus
tadi dengan tepung beras, garam dan air panas. Dan menyaring kedalam
botol kaca yang sudah ada didalam bakul. Setelah selesai, diambilnya
bubuk kunyit dan dicampurkan dengan air panas dan sedikit garam.
Jadilah jamu kunir asem. Satu-satunya botol kaca kosong didalam bakul
itu pun terisi. Tas kresek plastik berisi jamu anak sehat, jamu kuat
lelaki, rumput fatimah dan jamu singset tak lupa di letakkan diatas
bakul.
Tepat pukul 16.00 WIB, wanita yang sudah berusia enam puluh
tahun ini berangkat jualan jamu. Mengenakan kebaya bordir warna hijau
lengkap dengan stagen yang dililitkan di pinggang. ''Kalo ngak pake
stagen ngak kuat gendong bakul,''kata Suwarti di rumahnya Bengkong
Kartini, Kamis (30/8).
Suwarti mengaku, dengan stagen itu juga ia
bisa kuat berjalan hingga berkilo-kilo meter. Kelebihan lainnya perutnya
tidak pernah gendut. Bahkan dulu setiap kali selesai melahirkan,
orangtua Suwarti mewajibkan dirinya memakai stagen yang panjangnya 5
meter dan bengkung.
Berjualan jamu menjadi pilihan Suwarti sejak
pindah ke Batam tahun 1992. Ia merasa lebih nyaman punya penghasilan
sendiri dan tidak perlu menunggu jatah belanja dari suami. ''Lumayanlah
sehari bisa dapat Rp50 ribu,''kata ibu dari 6 orang anak dan 13 orang
cucu.
Dua puluh tahun lalu, ketika pertamakali jual jamu, Suwarti
yang masih berumur 40 tahun kuat berjalan hingga 5 km. Sekarang, ia
hanya mampu berjalan 1 km saja.
Dulu, kata wanita kelahiran
Boyolali, Jawa Timur ini, hampir semua wilayah Batam hutan. Melchem,
Mantang, Bukit Senyum, Bengkong Harahapan Bengkong Seken, Bengkong
Aljabar adalah hutan lebat. Tapi tak pernah menyurutkan kemauan Suwarti
mencari uang tambahan. ''Saya hanya takut orang mabuk saja. Kalau
tersesat sudah biasa. Di Pandan wangi juga Melchem pernah nyasar. Bisa
masuk tapi ngak bisa keluar. Saya tanya dengan tukang bubur yang saya
temui dijalan, eh ternyata dia tetangga saya,''kata wanita yang tetap
kelihatan bugar di usianya yang sudah kepala enam.
Kenikmatan
berjualan jamu dan memiliki penghasilan sendiri ditularkan pada 2 anak
perempuan dan menantunya. Kini, kedua anak dan 2 menantunya ikut
berjualan jamu. ''Dulu jamunya saya yang buatkan. Sekarang sudah pintar
buat sendiri,'' kata Suwarti lagi.
Suwarti mengaku mengajak
putri-putrinya melakukan hal yang sama dengan dirinya, untuk tujuan
meringankan beban suami. '' Lumayan bisa untuk uang belanja sehari-hari
juga uang jajan anak-anak,'' kata Suwarti.
Dari hasil berjualan
jamu, Suwarti bisa menyekolahkan salah satu cucunya hingga SMA dan
membeli tanah kapling yang kini menjadi tempat tinggalnya.
Dulu,
Suwarti hanya jual jamu pagi hari saja. Sekarang ia jual jamu pagi dan
sore hari. Berangkat pukul 07.00 dan pulang-pukul 10.00. Sore, hari
berangkat pukul 16.00 kembali ke rumah jelang Magrib.
''Berangkat jualan sematangnya jamu aja. Jadi kalau pagi ngak habis, saya jualan sore,''katanya lagi.
Suwarti
mengaku penjualannya mulai menurun. ''Sekarang banyak sekali pilihan
minuman kesegaran yang dijual di toko atau mall. Apalagi orang-orang
perempuan Batam paling takut minum kunir asem,''tutur Suwarti.
Padahal
kata Suwarti, minum jamu banyak manfaatnya. Ia membuktikan sendiri.
Dengan stamina dan tubuhnya yang tetap bugar dan perut yang tidak
membuncit walau sudah melahirkan berkali-kali. ''Ibu saya, sekarang
usianya 90 tahun. Beliau masih kuat. Di kampung masih sering ke hutan
cari rumput dan kayu. Dari muda, ibu saya ini suka minum jamu. Jamunya
juga yang pahit,''kata Suwarti sambil tersenyum.
Jamu memang menjadi
obat bagi Suwarti. Ketika pusing dan tiba-tiba matanya kabur, Suwarti
cukup menberi pilis yang di keningnya. ''Ada rasa hangat di kening.
Alhamdulilah biasanya setelah itu peningnya hilang, mata juga tidak
kabur lagi,'' katanya.
Suwarti mengaku sering dimintai pendapat soal
obat untuk berbagai penyakit. ''Ada yang batuk sampai keluar darah. Dia
minta carikan jamu yang sesuai. Lalu saya saya belikan kunyit putih.
Kalau ibu-ibu masalah kewanitaan. Yang laki-laki jamu kuat,'' kata
Suwarti. ***
Dulunya Penjual Ayam
Dulu Suwarti dan Suparno,
suaminya, punya peternakan ayam di Boyolali. Seribu lima ratus ekor ayam
pernah dimiliki pasangan suami istri ini. Namun karena persaingan dan
modal yang tidak banyak, usaha peternakan itu bangkrut.
Suwarti dan suami akhirnya memilih mengadu nasib ke Batam. Disini, Suparno menjadi tukang ojek dan Suwarti jual jamu.
Satu
bulan ini, keduanya sedang mencoba peruntungan lain. Memelihara jamur
tiram. Bagi keduanya, memelihara jamur tiram bukanlah hal baru. ''Di
Boyolali, kampung kami, semua penduduknya memelihara jamur tiram. Hanya
saja disana, harganya murah sekali. Perkilonya cuma Rp6000. Kalo di
Batam sampai Rp40 ribu,''kata Suwarti.
Kini dengan modal Rp2 juta, ia
memelihara jamur tiram di dalam rumahnya yang kecil. Ada sekitar 350
polyback ditata diatas rak kayu di ruang tengah yang dulunya kamar.
''Ada sekitar 4 drum atau 350 polyback tidak jadi. Bibitnya
menghitam,''timpal Suparno.
Padahal proses buatnya lama. Untuk
mengukusnya saja 6 jam. "Bapak yang ngadon sampai merebus. Kalau
anak-anak bantu membungkus dalam polyback,''kata Suwarti sambil
menyiramkan bibit jamur dengan air dari botol plastik sebelum berangkat
jualan jamu. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar