Aswandi Syahri, sejarawan di Tanjungpinang
Mencari jejak-jejak sejarah bukanlah mudah. Terkadang ketemu tak sengaja
di tukang loak, tapi juga harus dicari sampai ke negeri Belanda.
Dari rumahnya di Batu Hitam Tanjungpinang, ia bergegas menuju pelabuhan
Sri Bintan Pura. Untung saja, kapal feri terakhir tujuan Telaga Punggur,
Batam belum berangkat.
"Saya harus berangkat sekarang. Tadi saya ditelpon ajudan walikota.
Katanya ada tamu dari Singapura, keturunan Raja Riau Lingga. Saya
diminta menemani,"kata Aswandi Syahri, yang ditemui Batam Pos, Selasa
(17/7)..
Alumni Fakultas Sastra Jurusan Sejarah Universitas Andalas tahun 1989
ini memang sering diundang walikota Batam untuk sekadar berdiskusi
tentang sejarah Melayu. "Pak wali paling suka bicara sejarah. Makanya
sewaktu menetapkan hari jadi Batam, beliau minta saya menelusuri sejarah
kota Batam," kata mantan wartawan ini.
Tak mudah menyusuri jejak sejarah Batam. Waktu itu, kata pria yang masih
melajang diusia 41 tahun ini, ia harus mencari bukti hingga ke beberapa
tempat. "Waktu itu saya diantar ke sebuah tempat. Disana ada batu bata
dan paralon baru. Katanya disitulah pabrik batu bata pertama di Batam.
Karena masih baru, saya ngak yakin," cerita pria kelahiran Tanjungpinang
ini.
Aswandi pun berangkat ke Jakarta, dengan tujuan Kantor Arsip Nasional
RI. "Disana saya dapati satu bundel arsip tentang Engine Batu Bata.
Dalam Arsip itulah disebutkan industri batu bata pertama di Batam milik
Raja Ali Haji ada di Batuaji tahun 1898,". jelas Aswandi lagi.
Pabrik batu bata itu bernama 'Batam Brick Work'. Yang tersisa hanya
patahan cerobong berukuran 1,5 m x 1,5 m. Sekarang, kata Aswandi, tempat
itu sudah jadi galangan kapal. Satpam yang bekerja di galangan kapal
melihat sendiri sisa-sisa bangunan pabrik sudah didorong kelaut.
"Saya lalu mengusulkan patahan cerobong itu dibawa ketengah kota. Kan
bisa jadi monumen industri pertama di Batam. Tapi sepertinya usulan itu
belum direalisasikan," kata Aswandi.
Akhirnya hari jadi kota Batam ditetapkan pada tanggal 18 Desember 1829
berdasarkan pengangkatan Raja Isa (anak dari Yang Dipertuan Muda Riau
ke 4 Raja Ali Marhum Pulau Bayan) menjadi penguasa atas Nongsa, Pulau
Buluh, Belakang Padang. "Inilah pemerintah pribumi pertama yang merintis
tapak pemerintah pribumi yang berkelanjutan di pulau Batam," jelas
Aswandi.
Arsip-arsip yang menjelaskan Temenggung Abdul Jamal juga susah didapat.
Bahannya sedikit. Aswandi pun harus ke Malaysia. Disana, ia ketemu satu
naskah berjudul Hikayat Johor dan Pahang. Dari naskah ini, Aswandi
dapat gambaran sejarah lain Temenggung Abdul Jamal. Juga biografi Encik
Puan Bulang Raja Melayu yang menjadi tokoh utama di novel Bulang Cahaya
karangan Rida K.Liamsi.
"Memang paling sulit meneliti sejarah Melayu, karena namanya sama,
gelarnya juga sama. Makanya itu harus tahu silsilah dan peranannya dalam
sejarah," kata Aswandi yang selalu menggunakan 2 sumber literatur dari
Belanda dan lokal (melayu).
Tahun 2010 lalu, Aswandi berangkat ke Belanda mencari bahan sejarah
Riau. Bersama Dr. Jan Van Der Putte, seorang pakar sastra Melayu klasik
dan Raja Ali Haji yang tinggal di Singapura.
"Sepuluh hari di Denhaag Belanda. Hanya keluar masuk perpustakaan.
Keluar dari hotel jam 7 pagi. Pulangnya jam 9 malam," kata Aswandy.
Di perpustakaan Universitas KITL-Leiden itulah, Aswandy banyak
mendapatkan bahan penelitiannya. Arsip-arsip sejarah Melayu banyak
tersimpan di perpustakaan ini. Semua arsip itu tak ditemuinya di kantor
arsip Nasional RI di Jakarta. "Di Belanda, sistem pengarsipannya bagus.
Mudah sekali mencari yang kita butuhkan. Kertas-kertasnya bersih tak
berdebu seperti di tempat kita. Kalau di Jakarta kita sering dibuat
emosi. Diperpustakaan Belanda semuanya gratis, bahkan kita dikasih alat
tulis juga kaca pembesar. Semuanya boleh dibawa pulang," kata Aswandi.
Untuk membuat file digital pun bisa dilakukan sendiri. Di perpustakaan
Leiden Belanda, pengunjung diberi kebebasan memotret arsip. Beda dengan
kantor arsip di Jakarta, harus dipotretkan petugas perpustakaan, bayar
Rp200 ribu perlembar. Tapi tak bisa digunakan karena tidak bisa dibaca.
Arsip-arsip sejarah Melayu umumnya ditulis tangan dengan huruf arab
gundul. Beberapa diantaranya tulisan Raja Ali Haji dalam bentuk syair.
Dengan stempel asli dan baluran tinta emas. ''Walau bentuknya syair,
namun isinya sama seperti reportase. Seperti syair tentang pernikahan
seorang kapiten China di Tanjungpinang. Dalam syair itu digambarkan
suasana pesta pernikahannya, makanan yang disajikan, dekorasinya,'' kata
Aswandy sambil membaca salah satu syair bertuliskan Arab gundul.
Membaca tulisan tangan diakui Aswandi sangat sulit. Karena setiap orang
berbeda goresannya. "Untung saja dulu pernah belajar arab Melayu di
madrasah. Jadi ngak terlalu buta sama sekali,'' kata penulis buku
Sejarah awal Melayu 1600 (Temenggung Abdul Jamal).
Agar sejarah Melayu bisa diketahui khalayak ramai, Aswandi pernah
membuat pameran sejarah Riau Lingga di komplek kediaman Gubernur .
"Sekarang masih ada, karena tidak boleh dibongkar, kalau ada tamu
gubernur selalu diajak kesitu,'' kata Aswandi.
Arsip-arsip hasil perburuannya ke Belanda, di pamerkan di museum arsip dan foto di jalan Temiang Tanjungpinang.
Aswandi juga bercerita ketika ia tanpa sengaja menemukan arsip lokal
yang ada di tukang loak. "Waktu saya lihat ada gundukan kertas di tukang
loak. Beratnya sampai 7 ton. Kata tukang loak itu kertas ini dibuang
kantor Pemda. Saya lihat ternyata catatan-catatan sejarah lokal kita.
File ini tidak ada di
Kantor Arsip Nasional di Jakarta. Makanya satu minggu disitu saya
pilah-pilah lagi. Yang saya ambilpun hanya sebagian karena sudah banyak
juga yang dipres," tutur Aswandi.
Suatu saat kata Aswandi, ia ingin sejarawan di Tanjungpinang pun bisa
menjadikan ilmunya sebagai bidang usaha. "Di Jakarta dan Yogya sudah
jalan. Namanya publik history. Jadi dari para sejarawan ini, muncul
usaha penerbitan, buku juga tour. Guidenya ya sejarawan itu. Jadi
wisatawan yang berkunjung ke suatu tempat bersejarah dapat mengetahui
sejarah sesungguhnya,'' harap Aswandi.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar