Rabu, 02 Januari 2013

Cari Ide sampai ke India

Rekaveny Soerya Respationo, ketua LKKS Kepri


Meningkatnya jumlah penderita cacat di Kepri membuat Rekaveny bersama LKKS perlu menggali ilmu hingga ke India demi memandirikan anak-anak cacat.


Convention Hall Jaypee Palace Hotel, Agra  India mendadak riuh. Ketika suara Sitar (alat musik tradisional India) terdengar seiiring dengan kemunculan anak-anak India dari balik panggung. Mereka kemudian membentuk formasi  membawakan tarian Nataraja, tarian yang menggambarkan Dewa Siwa.  Satu orang penari berperan sebagai Siwa, sedangkan 4 anak lainnya menggambarkan pancaran tenaga-tenaga prima dari Siwa. Mereka berbaris kebelakang.  Dari depan hanya terlihat tangan-tangannya saja. Seolah-olah tangan itu dimiliki penari paling depan. Tarian Nataraja ini diakhiri dengan formasi piramida. Seorang gadis tanpa tangan naik hingga ke puncak. Ia berdiri diatas punggung salah satu penari. Sebelumnya formasi yang sama dibuat oleh beberapa orang penari berkursi roda. Pada malam gala dinner itu, anak-anak dengan berbagai macam kecacatan menjadi bintang di kongres Dunia ke 1 RBM (Rehabilitasi Berbasis Masyarakat). di Agra, India (28/11). Mereka yang berjumlah sekitar dua puluhan anak  menampilkan 7 tarian India. Selain tari Nataraja, remaja-remaja dengan cacat kaki, tunawicara, tuna runggu, juga down syndrom menampilkan sendratari yang berkisah peperangan Baratayuda.
Semua hadirin yang berasal dari 86 negara itu serempak berdiri memberi applause. Termasuk Rekaveny, ketua LKKS (Lembaga Koordinasi Kesejahteraan Sosial) Kepri yang datang mewakili Indonesia untuk provinsi Kepri.
''Lihat orang-orang cacat bisa mandiri seperti itu luar biasa. Mereka  yang mempunyai kekurangan mampu tampil memukau sama dengan orang normal. Semuanya semangat luar biasa. Tidak menunjukkan bahwa mereka itu cacat, ''kata istri wakil Gubernur Kepri ini.
Rekaveny tak sendiri, ia datang bersama 4 orang wakil YPAB (Yayasan Pembinaan Asuhan Bunda) yang langsung dipimpin Sri Soedarsono,  3  orang LKKS Kepri,  juga 6 orang mewakili LKKS Lingga yang dipimpin langsung Rosemawatie, Daria, istri Bupati Lingga.
Kementrian Sosial Jakarta juga mengirim utusannya, LSM Jakarta, Dadun dari Badan Penilitian Disabilitas UI, Sunarman, ketua  CBR Solo, dr Agusman dari RS Hermina Semarang, Weni dari Perkin's Bandung yang datang  sebagai speaker.
Rekaveny  mengaku, dalam kongres dunia pertama CBR (Community Based Rehabilitation) ini ia benar-benar terharu melihat kepedulian antar sesama penyandang cacat. ''Ketika ke toilet, mereka saling bantu. Yang matanya tidak bisa melihat  dituntun yang matanya normal. Padahal yang matanya normal tadi pakai kursi roda. Mereka. Itu berbeda negara loh. Yang satu dari Zimbabwe, yang satu lagi dari Solo. Kepedulian ternyata tidak membedakan asal negara,''kata Rekaveny.
Pembicaranya, kata Rekaveny juga ada yang cacat. Seperti ketua CBR Solo yang kakinya cacat. Ada juga pembicara lain yang kepalanya besar.
Kongres yang disponsori WHO (World Health Organization) ini menjadi ajang tukar fikiran bagi pemerhati masalah sosial di dunia. ''Saya datang juga untuk cari ide. Melihat yang sudah dilakukan teman-teman dari negara lain. Contohnya India saja, anak-anak cacat bisa dilatih menari. Seperti yang tampil di malam gala dinner itu, mereka dilatih selama 12 tahun. Lalu  toko-toko  sembako di India juga dilayani  penderita cacat. Mereka cukup  sigap. Walau matanya gak melihat,''kata Veny.
Sebenarnya, kata Rekaveny, mempekerjakan penderita cacat lebih menguntungkan. Mereka lebih betah bekerja. Contohnya, seorang cacat kakinya, ia bekerja sebagai tenaga administrasi, ia bisa berlama-lama duduk mengerjakan tugas. Keadaaan kaki yang tak sempurna itu membuat mereka itu tak terlalu banyak bergerak. Pekerjaan menjadi lebih cepat diselesaikan dan hasilnya lebih baik, karena dilakukan dengan konsentrasi.
''Pada kongres itu badan dunia WHO juga menyerukan agar pemerintah maupun perusahaan untuk menerima penderita cacat (disabilitas) untuk bekerja. Mereka juga bisa kerja  seperti orang normal.
Saat ini dari data badan dunia ESCAP (Economic and Social Commission for Asia and the Pacific)  jumlah penderita disabilitas mencapai 650 juta di Asia Pasifik.
Di Indonesia, menurut riset kesehatan dasar Departemen Kesehatan, disinyalir penderita disabilitas meningkat akibat kecelakaan (kerja, lalu lintas, kebakaran dll) dan bayi lahir dengan berat badan rendah. Jumlahnya mencapai 14,42 persen dari total jumlah penduduk Indonesia.  Dr. Ferial Hadipoetro, yang ikut dalam kongres dan mewakili pusat studi kecacatan Indonesia mengakui  bahwa jumlah penderita cacat makin banyak di Indonesia. Ia juga menyebutkan jumlah penderita cacat di Kepri yang mencapai 31,8 persen.
''Saat ini baru Yayasan Pembinaan Asuhan Bunda punya bu Dar (Sri Soedarsono) yang menanggani anak-anak cacat. Melalui sekolah luar biasa. (SLB) ini, anak-anak dengan berbagai kecacatan bisa ditangani.''kata Rekaveny di ruang kerjanya di Komisi II DPRD Batam.
Sudah selayaknya pemerintah daerah punya sarana untuk memandirikan anak-anak cacat itu. ''Upaya yang dilakukan adalah melakukan pembinaan pada keluarganya terlebih dahulu,''kata Rekaveny lagi.
Sebelumnya, kata Rekaveny, LKKS sudah menyelenggarakan klinik low vision untuk pemeriksaan mata anak-anak sekolah dasar kurang mampu dan anak-anak panti asuhan. ''Klinik itu ada di kantor Dinsos Tanjungpinang. Disana kita melatih 50 guru SD untuk belajar memeriksa mata. Selanjutnya jika ada anak-anak tersebut mengalami masalah mata, maka akan dirujuk ke optik. LKKS yang akan membelikan kacamata tersebut,''kata Rekaveny lagi.
Di panti asuhan Ceruk Jeruk, panti asuhan Muhamadiyah dan panti asuhan Miftahul Ulum kata Rekaveny, ditemukan 6 anak yang bermasalah dengan matanya. ''Ada yang minus 6 dan silinder 3,3. Sewaktu dapat kacamata, anak itu menangis karena sudah lama ingin memiliki kacamata itu,''kata Rekaveny yang ikut terharu melihat peristiwa itu.
Kegiatan ini kata Rekaveny, adalah hasil dari keikutsertaan LKKS pada Asia Pacific CBR Convention di Kuala Lumpur, Malaysia 13-15 November 2010 lalu. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar